Kamis, 07 Juli 2011

Halo!

Sebenernya, saya juga bingung akan nasib blog ini. Saya lebih sering berada di http://fikrifikri.wordpress.com/ ketimbang di blogspot.

Jadi, kalau ada waktu, boleh itu tautan di atas diklik.

Minggu, 13 Februari 2011

Anggap Saja Apologi

Saya paling tidak bisa menjawab jika mendapat pertanyaan menyoal perkara cita – cita. Cita – cita? Untuk kondisi di Indonesia, pertanyaan cita – cita mungkin dapat disinonimkan dengan pertanyaan ingin kerja di mana atau berkarir di bidang apa. Saya benci mendapat pertanyaan itu, saya pasti tidak bisa menjawab. Jawaban saya selalu sama, cita – cita saya adalah mempunyai cita – cita. Absurd? Tidak ah, hahaha.

Cita – cita saya selalu berubah. Ketika masih bercelana merah, saya bercita – cita menjadi dokter. Terdoktrin ayah saya yang hanya perawat rumah sakit. Standar orangtua, selalu ingin anaknya melebihi pencapaian orangtua. Hingga diberi wejangan tentang seluk – beluk kedokteran. Otak saya yang masih sekerdil itu (sampai sekarang masih kerdil, percayalah!) menurut. Lalu cita – cita itu bertambah satu variabel, menjadi: dokter yang juga pesepakbola. Tahu Fachry Husaini? Ia adalah pemain bernomer punggung 7 di kesebelasan PKT Bontang yang juga sempat menjadi andalan timnas Indonesia. Karena beliaulah saya ingin menjadi pesepakbola. Dokter yang handal bermain bola? Terdengar berkharisma dan atletis.

Tapi cita – cita itu kemudian berubah drastis. Kalau kata orang, seratus delapan puluh derajat. Ketika penjurusan kelas tiga SMA, saya hanya masuk IPS. Saya menggunakan “hanya” karena stigma jurusan IPS itu rendah. Maka secara otomatis, dokter yang handal bermain bola dihapus. Pencoretan dokter dalam daftar turut membawa cita cita yang baru, kali ini menjadi pelawak. Salahkan Komeng untuk hal ini. Melihat Komeng yang hanya iseng dan ‘ngatain’ orang, ia dapat rupiah. Tak sedikit pula, sialan! Saya iri!

Lalu pelawak berubah lagi. Dulu masih ada sejenis festival melucu untuk tingkat mahasiswa. Sekarang sepertinya sudah tidak keren lagi, sehingga tidak terdengar lagi lomba semacam itu. Lagi – lagi variabel itu bertambah. Menyamping lebih tepatnya. Saya ingin menjadi anak band yang jago membuat orang lain tertawa. Saat itu Kaka Slank menjadi idola. Sayang sekali, skill memainkan instrumen musik saya jauh di bawah rata – rata. Lagipula saya rasa saya terlalu ganteng untuk menjadi pelawak dan terlalu jelek untuk menjadi pemain band (lagi – lagi stigma di sebagian besar rakyat Indonesia, pelawak jelek dan anak band ganteng).

Melihat ke atas (maksudnya ke paragraf di atas) cita – cita saya dipengaruhi satu tokoh sentral. Dokter karena doktrin ayah saya, pemain sepakbola karena Fachry Husaini, pelawak karena Komeng, dan anak band karena Kaka Slank. Lalu bagaimana sekarang? Maksudnya, jika cita – cita yang tersebut di atas merupakan masa lalu, harusnya sekarang berubah. Iya sekarang harus berubah. Saya ingin proses itu berbalik. Dari pasif menjadi aktif. Dari awalan di- menjadi awalan me-. Dari diinfeksi orang lain menjadi membaptis.

Siapa yang tidak ingin hobinya dikompensasi? Misalnya, melukis dan menghasilkan rupiah. Atau menempelkan upil ke tembok dan diberi gaji bulanan. Sungguh menyenangkan. Berkarir dari hobi? Priceless. Karir merupakan kata yang bermetamorfosis dari bahasa asing, career. Karir berarti posisi seseorang dalam pekerjaan selama beberapa masa. Saya lebih suka mengasumsikan kalau karir adalah kata serapan dari carrier, lagipula dalam kamus, kata “karier” juga eksis, jadi mungkin saja karier berasal dari carrier. Iya, saya lebih suka jika karir atau karier saya adalah sebagai pembawa. Membawa apa saja. Contohnya, guru SD membawa ilmu dan mentransfernya ke anak didiknya. Ilmu adalah medianya, murid bertambah pengetahuan adalah outputnya.

Jika asumsi saya diimplementasikan secara langsung, saya masih sedikit berkhayal imajinatif. Dengan predikat saya sebagai mahasiswa abadi dan berhobi menulis, maka karir saya akan seperti… Sebentar, saya masih bingung, hehehe. Jika tulisan sebagai media, maka output minimumnya adalah membawa orang yang membaca tulisan saya untuk tidak menjadi mahasiswa abadi. Yah, itu efek minimalnya, anggap saja ini apologi mahasiswa angkatan 2005 yang tak kunjung lulus.

Ah sudahlah, mungkin saya mengigau dan meracau. Saya cuma ingin lulus kuliah dan membawa sesuatu. Setidaknya membawa orang di lingkungan saya untuk ikut bercita - cita. Itu intinya.

[jogjakarta. 10 Februari 2011. 03:03 AM. fikri]

Senin, 13 Desember 2010

Karangwuni Festival 2010

Minggu, 12 Desember 2010, saya terbangun jam enam pagi karena terganggu suara musik dangdut yang begitu kencang. Seminggu sebelumnya memang ada hajatan nikah di sebelah kost. Tepat di sebelah kost. Saya awalnya mengira dangdutan tadi adalah sekuel dari resepsi pernikahan. Berhubung suaranya keras sekali, saya segera menuju ke luar kamar kost. Amplifier memang mengarah langsung ke bangunan kost saya. Jarak antara amplifier dengan bangunan kira – kira dua meter. Haha. Pantas saja bising.


Ternyata bukan. Acara tersebut adalah bagian dari Karangwuni Festival 2010. Yang sedang berlangsung sekarang adalah kesenian kuda lumping. Grand Opening-nya 18 Desember 2010 (tertulis dalam spanduknya memang demikian). Acaranya antara lain donor darah, sepeda hias, tabligh akbar, dan kesenian daerah. Tadi sempat gerimis, langit juga gelap, tapi lima menit kemudian lenyap. Ajaib.











Dalam acara begini, selalu ada tukang. Tukang makanan berjejer. Dari mie ayam, es krim, cireng, cimol, siomay, hingga ke sate, dan bakso, semuanya enak ya! Haha. Tukang mainan, tukang yang paling dihindari ibu yang membawa anak. Dulu ibu saya juga begitu. Haha. Balon berbentuk bola, pesawat, dan jagoan kartun, mobil – mobilan, robot – robotan, dan boneka. Tukang minuman lunak (softdrink), tukang es krim potong, dan tukang es krim bermerek terkenal, dapat dua keuntungan. Menonton hiburan gratis dan dagangannya laris.







Tukang parkir, hanya bermodal rompi oranye dan beberapa lembar kertas, bisa memaksa orang untuk menyerahkan seribu rupiah. Tadi saya tidak sempat menghitung berapa jumlah motor yang parkir di depan kost saya. Sekitar tigapuluhan. Jika dikali seribu per motor, berarti tigapuluh ribu. Lumayan, beban rokok sebungkus, makan siang dan makan malam sudah tertutup.





Ibu – ibu menggendong anaknya dengan berbagai posisi. Menggendong standar, menggendong standar sambil jinjit, menggendong di pundak, menggendong di pundak sambil jinjit, menggendong punggung, dan menggendong punggung sambil jinjit. Haha.





Juga dipenuhi remaja perempuan tanggung yang merias diri tidak seperti seusianya. Tadinya saya mau memotret mereka, tetapi keburu dipelototi kawan prianya. Saya takut dikira fedofil. Kawan – kawan prianya memakai kemeja seragam, dibelakangnya ada tulisan “tawon nd@s”. Mungkin semacam geng motor. Atau geng penonton jathilan. Entahlah.





Tulisan tentang jathilannya? Ah, saya rasa anda lebih tahu tentang kebudayaan ini. Saya tidak berani diprotes. Dan ketika saya sedang menulis ini, terdengar suara perempuan berteriak. Saya ke sana lagi ya!








[jogjakarta. 12 Desember 2010. 02:14 PM. fikri]



Minggu, 21 November 2010

Heh Bego! Rokokmu Matikan!

Heh bego! Rokokmu matikan! Kau mau nyala bara apinya terlihat warga? Hah! Mau? Terus nanti kita mampus dipukulin bambu! Hah! Mau?!”

“Iya bos, maaf saya lupa”, jawabnya terbata.

“Ya sudah cepetan matiin! Malah bengong”

Dede melempar puntungnya. Kaki kirinya mengejar cahaya jingga di tanah. Sol sandal jepitnya menginjak rapat. Sampai tidak berpendar lagi.

Mereka berdua kini diam. Seolah menunggu sinyal dari alam. Padahal belum tentu tuhan mengizinkan. Tapi apa boleh buat, segepok duit yang dijanjikan juragan membuat mereka menghapus kata dosa dari akalnya. Iming - iming duit dan imajinasi mereka tentang kaya membiaskan ajaran orang tua yang mereka terima sedari dalam timangan.

Gadis sasaran baru saja memakai sandal. Mereka bersiap. Lagi - lagi menunggu sinyal dari alam.

Tangan Jalu yang besar mampu menutup hidung dan mulutnya. Beberapa saat ia meronta. Tapi pingsan setelah campuran bahan kimia yang ditumpahkan ke saputangan dihirupnya. Ia terjatuh. Sertamerta Jalu membawanya ke semak - semak. Jalu dan Dede berganti tugas sekarang. Jalu mengawasi situasi, Dede menjaga gadis.

Jalu bergerak ke tempat yang lebih gelap. Ditinggalkannya Dede dan korban di semak - semak sana. Menunggu saat yang tepat untuk kabur. Dede malah asyik masturbasi sambil meremas - remas payudaranya. Tubuhnya yang molek memang menimbulkan syahwat.

“Bangsat! Kamu malah mainan burung! Sudah hentikan. Kalau dia bangun gimana? Goblok kamu! Rokokmu matikan! Sudah aku bilang dari tadi! Kamu mau mati digebuk alu?”

Lagi - lagi Dede melempar puntungnya. Ia menurut perintah dan memakai celananya kembali. Tanggung memang. Tapi ia lebih takut kepalan tangan Jalu meninggalkan bekas di pelipisnya. Ia menyudahi aktivitasnya dan fokus kepada si gadis. Jalu membopong tubuh mungil di atas pundaknya. Dede berjalan lebih dulu sepuluh langkah. Mata mereka mengawasi sekeliling. Takut ada yang memergoki.


***


“Kerja bagus Jalu! Kamu juga Dede! Uangnya besok bisa kamu berdua kantongi. Sekarang bawa dia ke gudang belakang. Jangan sampai ketauan si Inah!”

“Siap juragan!”

Jalu dan Dede mengangkat tubuh gadis. Kali ini berdua. Jalu mengangkat tangan dan Dede bagian kaki.

“Jaluu!”

“Ya juragan?”

“Setelah kau bawa dia, jangan lupa siapkan beubegiknya”

“Beres juragan!”

--------------

[Jogjakarta. 17 Juli 2010. 11:45 AM. fikri]