Jumat, 19 Februari 2010

Buat Pungky!

*cover version dari tulisan mas chan, Buat Ting. Maap mas ini yang tervisualkan otakku ketika membaca tulisanmu. hihihi.

Kamis, 11 Februari 2010

Saya muak. Saya jengah. Saya muak dan jengah.

Saya muak. Saya jengah. Saya muak dan jengah terhadap perkembangan industri musik indonesia yang kemelayu – melayuan. Bukan berarti saya benci melayu, tapi musik tidak harus mendayu – dayu bukan? Lihat saja band – band idola abg masa kini. Sepertinya mereka lebih sibuk memperhatikan dandanan rambut daripada musikalitas.

Dengan lirik yang mengobral kata cinta, pujaan hati, dan kata – kata semacam itulah. Bukannya saya juga benci lagu cinta, tetapi tidak harus berserakan seperti itu kan? Sepertinya band yang albumnya termasuk album indonesia terbaik tahun 2008, Efek Rumah Kaca, menyadari hal itu, mereka lalu membuat lagu yang menurut saya monumental, Cinta Melulu. Simak saja lirik lagu yang bertenaga ini:

Nada – nada yang minor/ lagu perselingkuhan/ atas nama pasar semuanya begitu klise

Elegi patah hati/ ode pengusir rindu/ atas nama pasar semuanya begitu banal

Kali pertama saya mendengar, seperti “Wow! Apa ini?” sensasi yang orgasmik. Saya berteriak kencang “Hah! Sejak kapan minor, klise, elegi, ode, dan banal jadi lirik?”. Efek Rumah Kaca membuat bahasa indonesia terdengar sangat keren dengan lirik yang ditulisnya. Benar – benar waktu yang tepat. Waktu yang sangat tepat untuk menyadarkan pelaku industri musik untuk setidaknya sedikit berubah.

Atau seperti The Upstairs yang memiliki vokalis eksentrik dan antik. Subjektif, Jimmy merupakan salah satu penyair terbaik Indonesia saat ini. Lagu cintanya diungkapkan dengan berbeda. Mari disimak:

berbaju hitam ketat merekat/ celana blue jeans ku pun bertambah sesak
senyum mengembang lutut bergetaran/ semaput pegangan dan nyaris pingsan

sempat terfikir membawanya pulang/ sempat terfikir membawanya pulang.

The Upstairs – modern bob.

Dari liriknya jelas sekali tentang lagu cinta. Tentang seorang pria mempunyai ketertarikan dengan lawan jenis. Betul bukan? Tak selalu harus “kaulah pujaan hatiku selamanya cinta ini tak akan berakhir walau dunia berakhir” atau “bintang pun tertunduk malu atas kecantikanmu” hahaha. Saya sebenarnya malas menulis bagian itu.

Mungkin lagu lain dari Efek Rumah Kaca bisa jadi referensi untuk lagu cinta, ketika galau berkepanjangan. Haha. Semoga lirik ini membuat Anda merasa bahasa Indonesia itu kerennya melebihi bahasa apapun. Apalagi bahasa cinta. Haha.

Kita berdua hanya berpegangan tangan/ Tak perlu berpelukan
Kita berdua hanya saling bercerita/ Tak perlu memuji

Efek Rumah Kaca – jatuh cinta itu biasa saja.

Mungkin hal itu juga yang menyebabkan beberapa grup musik memilih negara lain untuk berkarya. Ketika Agnes Monica sibuk dengan rencana go international-nya, The S.I.G.I.T. sudah menjajal Australia dan Amerika, White Shoes and The Couples Company sudah memiliki label yang sama dengan band indie Amerika, The Cardigans, Goodnight Electric sudah mengelektronikkan Jerman, Gugun and BluesBug malah tidak terkenal di negerinya sendiri sama seperti Balawan, dan masih banyak contoh lainnya. Negara lain malah lebih mengapresiasi dibanding negaranya sendiri, wajar mereka berpindah lokasi pentas.

Dan itulah yang menyebabkan saya lebih memilih mengklik dua kali aplikasi winamp daripada menyetel televisi. Dan sekali lagi, saya percaya kalimat yang dilontarkan Efek Rumah Kaca, “pasar bisa diatur”.

Efek mendengarkan efek rumah kaca terlalu lama dan doktrinasi industri.

[jakarta. 11 februari 2010. 04:45 PM. fikri]

Di Kamar Ini

“Aku ikut!”, si Meja Jati berteriak menyela.

“Satu minggu penuh!”, tambahnya.

Sebenarnya aku kasihan juga melihat Televisi, sudah menjadi wasit, menjadi objek taruhan pula. Tapi apa boleh buat, menonton acara televisi kesukaan adalah kemewahan satu – satunya di sini, toh Televisi tak pernah keberatan dengan dua peran itu. Lagipula usianya paling muda di antara kami berempat.

Tiga jam lalu, si Imam, petugas pembersih, datang mengunjungi kami. Itu berarti akan ada tamu yang menginap. Imam dengan telaten membersihkan kamar ini. Dimulai dengan merapikan si Ranjang Lapuk, memasang sprei dan sarung bantal, berpindah mengelap dengan kain, seluruh tubuhku. Lalu membersihkan kepala si Lemari Tua yang sudah dipenuhi debu halus dan memberi kapur barus ke dalam tubuhnya. Yang terakhir ia menaruh gelas beserta termos dan air mineral di atas si Meja Jati.

Sekarang di depan kami, teronggok satu setelan jas dan pakaian perempuan. Mereka yang punya terdengar hanya suaranya. Itu pun dari kamar mandi. Entah apa yang mereka lakukan. Hanya terdengar desahan dan lenguhan.

“Lihat itu, Lemari Tua, telepon seluler si pria dimatikan, pasti takut istrinya menghubungi”

“Ah! Sok tahu kau, Cermin Antik, mungkin saja dia menghindari panggilan kantornya”, si Lemari Tua membela diri.

“Iya! Lihat itu! Jari manis mereka melingkar cincin yang bermodel sama, aku yakin menang kali ini. Pasti keluar di dalam”, si Meja Jati ikutan berdebat.

“Ya kita lihat saja, siapa yang tertawa terakhir!”, aku mulai kesal.

Perdebatan yang terjadi antara aku, Cermin Antik, Meja Jati, dan Lemari Tua ketika sepasang lawan jenis memindahkan adegan mereka ke atas Ranjang Lapuk. Lenguhan dan desahan bertambah kencang. Televisi dihidupkan dengan suara kencang agar menetralisir dan meredam.

“Aku tetap yakin pasti di luar!”

“Ya ya ya, terserah kamu, Cermin Antik! Aku yakin menang dan menonton televisi seminggu penuh” Meja Jati mulai sesumbar.

Sepasang lawan jenis itu terus saja mencumbu, mencium, dan melakukan apa saja agar menyenangkan dirinya dan pasangannya. Dan aku pun mulai khawatir ketika adegan demi adegan yang berlangsung tidak sesuai dengan prediksiku.

“Lihat saja, Cermin Tua! Si pria tak memakai pengaman, pasti itu adalah istrinya. Mereka hanya mencari sensasi dengan bercinta di tempat ini setelah jam makan siang”

“Aahh! Istri pria itu harusnya berumur tigapuluh limaan, bukan duapuluhan seperti dia”

“Ya bisa saja kan? Lagipula dari penampilannya, dia orang berduit yang bisa main tunjuk perempuan agar mau dinikahi”

“Simpan saja argumentasimu! Aku tak butuh!”, aku semakin gusar. Semua prediksiku mulai mentah.

Setelah tigapuluh menit mereka bergumul, akhirnya mereka mulai memasuki tahap ending. Aku tak berani melihat ketika gerakan si pria mulai pelan. Aku memalingkan muka.

“Hey, kamu tidak mau lihat kekalahanmu?”

“Ya ya ya. Aku sudah rela menonton sinetron raampunjabi yang klise itu seminggu penuh”

“Hahahahahaha!”, Meja Jati dan Lemari Tua tertawa terbahak – bahak.

Baru pertama kali aku kalah. Aku sebagai yang paling tua di sini, sudah hapal dengan berbagai macam jenis pasangan semacam ini. Sudah ratusan kali aku taruhan dan baru kali ini aku terancam menonton sinetron.

“Ahhh di dalam. Kau menang, Cermin Tua!”

“Loh katanya di dalam, kenapa aku yang menang?”

“Lihat baik – baik Pak Tua!”

Aku memicingkan mata. Memfokuskan penglihatan. Terlihat si perempuan sedang mengelap mulutnya dari lelehan cairan.

*tribute to djenar maesa ayu

[kereta api bima – jakarta. 5 dan 6 februari 2010. fikri]

Selasa, 02 Februari 2010

Semoga Kau Sembuh (lagi)

kita sama - sama tidak mengerti apa yang kita lakukan kemarin. bahkan di usia yang hampir seperempat ini. seperti puresaturday, kamu adalah waltz dan aku adalah pathetic-nya. mungkin kita tidak menjadi sepasang kekasih yang pertama bercinta di luar angkasa menurut melancholic bitch. maaf, mulai sekarang kamu tidak lagi ada di dalam daftar. mungkin untuk sementara, mungkin juga permanen. aku tidak mau, aku tidak mau, aku tidak mau karena memang aku tak pernah sampai sana, mungkin aku ungu tapi tidak untuk romantik. ya! aku sakit. sangat sakit. aku yang tidak bisa, atau kamu yang palsu seperti pohon plastik? ah aku malas menanyakannya pada thom york. ya mungkin seharusnya the cure mengganti nama mereka menjadi the time. kenapa? ya kamu artikan saja sendiri. dan bener kata sigur ros, ciptaan tuhan yang paling keren adalah hari yang baru.




terima kasih ya! semoga kamu tetap kamu. dan aku bukan aku!

[jogjakarta. 2 februari 2010. 02:55 AM. fikri]