Jumat, 23 Juli 2010

Hey Pemuja Simbol!

Apa kabar? Sudah berdoa hari ini? Belum? Ah tak masalah. Lagipula, tuhan kan maha mengerti. Tak usah berdoa juga dia sudah mengerti keinginanmu. Apa? Dia tak mengerti? Ya sudah jangan disembah, dia bukan tuhan kalau tak mengerti.

Apa kabar? Sudah mengecek rekening hari ini? Belum? Ah tak masalah. Lagipula, berapa yang kau punya untuk membuat saya merdeka?

Apa kabar? Sudah rapi hari ini? Belum? Ah tak masalah. Lagipula, cermin yang kau gantung di sebelah pintu kamar mandi itu selalu sama tiap hari. Tak perlu bercermin lagi. Selalu saja merefleksikan apa yang kamu mau bukan?

Eh tunggu, kamu bilang kamu tadi belum berdoa? Tak perlu. Kamu sudah bermain tuhan kok. Hehehe :D

Ada Mayat

Dia mampus tertimpuk uang koin dari atas metromini, meninggal terkena azab pedih ketiga tuhannya, dan mati terlilit rambut pendeknya.

Di Pasar


Seorang anak merengek terus. Ibunya kalang kabut. Dompet tak tersisa uang lebih. Mainan itu murah, tapi beras lebih penting.

Seorang pedagang mainan tersenyum penuh harap. Kereta kayu maju mundur memancing. Berharap sangat ibu terbujuk. Ia belum makan dari pagi.


[jogJAKARTA. 7 Juli 2010. 04:38 PM. fg]

Sabtu, 03 Juli 2010

Ningsih

“Ningsih hilang! Ningsih hilaaaang!”

Gadis perawan ayu itu menyusul. Komala lebih dulu lenyap. Keberadaan keduanya kini menjadi topik pembicaraan Kampung Mekarsari. Pak Saring bertambah pusing. Sebagai kepala adat di sana, ia resah atas peristiwa janggal ini. Dalam tiga minggu, perempuan di wilayah kekuasaannya, hilang tak berbekas.

Ningsih, gadis putus sekolah ini memang menarik. Kulitnya kuning langsat. Bersih. Tak ada jerawat yang mengisi ruang mukanya. Hanya tahi lalat di bagian dagu yang mempermanis parasnya. Tubuhnya tak terlalu gemuk dan terlalu kurus. Sesuai dengan fantasi pemuda kampung tentang imaji perempuan dalam masturbasinya. Tinggi juga standar perempuan. Kalau Ningsih lewat, harum tubuhnya membuat hormon testosteron pemuda kampung bekerja maksimal. Suaranya seksi. Tak heran ia menjadi sinden di kampung. Acara kawinan selalu ramai pemuda. Mereka datang hanya untuk mendengarkan Ningsih menyinden merdu. Tak terbayang suara Ningsih ketika mendesah. Bahkan ketika pakaiannya basah oleh keringat setelah bekerja di ladang, ia justru menaikkan birahi pemuda.

Tapi kini aroma Ningsih menguap. Tak lagi tertangkap hidung pemuda. Suara seksinya juga membias. Tak lagi ada merdunya Ningsih menyinden. Ningsih terakhir kali pamit untuk sholat maghrib di musholla, beberapa ratus meter di sebelah kanan rumahnya. Biasanya, Ningsih kembali setelah Sholat. Tapi malam itu malam Jumat, Ningsih pasti membaca surat Yasin di sana. Kalau malam Jumat, Ningsih kembali setelah Isya’. Jam memukul sembilan, Ningsih belum juga pulang. Orang tuanya gelisah. Mereka menyulut obor dan mendatangi musholla. Sesampainya di sana, musholla sudah gelap. Rumah – rumah di sekitarnya pun. Mereka panik.
Ayah Ningsih berlari kecil mendatangi kediaman Pak Saring. Api di atas obornya mengecil tertiup angin. Ibunya menunggu di musholla, berharap Ningsih masih di sekitar sana. Matanya masih mencari. Hidung juga ia gunakan. Ia hapal dengan bau Ningsih. Ia memanggil nama anaknya berulang kali dengan suara keras. Hatinya juga berulang kali meneriakkan Ningsih. Hasilnya nihil. Nol. Warga kampung yang terusik dengan suara ibu Ningsih terbangun. Rumah – rumah di sekitar musholla mulai menunjukkan cahaya. Satu persatu berkumpul di depan musholla.

“Kenapa Bu Yeyet? Ada apa malam – malam begini?”

“Ningsih belum pulang. Ningsih hilang. Tadi ia pamit sholat maghrib dan mengaji. Sampe sekarang belum pulang. Saya takut, pak. Saya takut dia kenapa – napa”
“Ya udah Ibu Yeyet tenang aja dulu. Mungkin ke rumah temannya? Atau mungkin saja Ningsih sudah pulang lewat jalan lain, ga papasan sama ibu”

Di saat yang bersamaan, ayah Ningsih menceritakan apa yang sedang terjadi. Pak Saring hanya menganggukkan kepala sesekali. Ayah Ningsih tetap terlihat tegar. Walaupun Pak Saring tahu betul watak ayah Ningsih.

“Pak tenang dulu saja di sini. Ini diminum tehnya mumpung masih anget”

Ayah Ningsih menyeruput kencang. Tak peduli panas yang membakar lidahnya. Pak Saring yang dari tadi duduk di depan ayah Ningsih meluruskan lututnya. Ia berdiri. Berjalan perlahan ke arah luar rumahnya. Ayah Ningsih akan mengikuti Pak Saring. Tapi Pak Saring menyuruhnya tetap duduk. Ia menahan bahunya, lalu berjalan ke arah pintu depan dan berhenti di pojok rumahnya. Memukul kentongan lima kali, jeda, memukul lagi lima kali, lalu jeda. Bising.

***

Kecurigaan dilekatkan pada Iman. Pemuda malas ini memang menaruh hati pada Ningsih. Apa lacur, Iman tak memiliki modal apapun selain parasnya yang lumayan. Orang tua Ningsih tak setuju. Iman tak mampu memenangkan hati orang tua Ningsih. Orang tua Ningsih melarang Ningsih menemui Iman. Apalagi di malam Minggu. Iman tak lebih dari segumpal daging yang teronggok di ranjang menurut mereka. Tapi hal itu tak menyurutkan niat Iman untuk berinteraksi dengan Ningsih. Ia bangga benar dengan statusnya sebagai kekasih Ningsih, perempuan idola seluruh kampung.

Ningsih adalah perempuan yang membuatnya takluk. Ibunya saja berani ia bantah jika menyangkut Ningsih. Kadang – kadang uang ibunya dicuri. Hanya untuk membelikan pakaian baru untuk Ningsih. Iman tahu ia disangka terlibat. Iman menyangka pemuda kampung cemburu terhadapnya. Terang saja ia membantah keras. Kalaupun ia membunuh, sasarannya orangtua Ningsih. Bukan Ningsih. Ia begitu menyimpan afeksi begitu dalam kepada Ningsih. Pun sebaliknya.

Pemuda kampung yang semalam ikut mencari Ningsih, kini mendatangi rumah Iman. Sembilan sepuluh orang menggedor pintu. Mereka mencari Iman. Ayah Iman berbohong mengatakan Iman tak ada di rumah, tapi Iman terlanjur keluar rumah. Ia marah. Iman juga sedang galau dengan hilangnya Ningsih. Terlebih harus menghadapi jumlah massa yang tak sedikit. Tangannya mengepal kencang. Urat di tangannya terlihat jelas. Matanya garang. Otot rahangnya bergerak – gerak mengikuti gerakan gigi.

Ia bersitegang dengan pemuda kampung yang mendatanginya. Meminta kejelasan keberadaan Ningsih. Suasana kacau. Kepalan tangan pemimpin pemuda sempat mengenai pelipis Iman. Menghadapi tuduhan tanpa dasar dan alibi yang kuat, Iman lari ke bagian belakang rumahnya dan mengambil kujang. Emosinya meledak. Menghadapi kekuatan eksplosif begini, pemuda kampung memilih mundur.

***

Pak Endi yang kebetulan sedang berada di tengah asetnya mendengar keributan itu. Beubegik yang akan dipasang diletakkan begitu saja. Suara ribut penyebabnya. Pak Endi yang tadinya akan memasang beubegik tambahan akhirnya memilih untuk mendatangi asal suara ribut tersebut. Mandor dan pekerjanya disuruh berjalan duluan di depannya. Takut nanti ada apa – apa.

Begitu sampai di sana, mandor langsung bereaksi melerai pertikaian. Untung saja si mandor berbadan tegap besar. Nyali pemuda ciut. Mereka menurut. Pak Endi yang berjalan agak lambat menghampiri kerumunan tersebut. Orang tua Iman sedikit lega dengan datangnya Pak Endi. Sekaligus segan. Mereka menumpang tinggal di tanah Pak Endi.

“Ada apa ini? Suaranya sampai sawah saya”

“Ini Pak, Ningsih hilang semalam. Iman kan pacarnya. Pasti dia ada hubungannya”

“Hey! Kamu jangan asal nuduh! Mana buktinya?”, Iman mengelak.

“Sudah – sudah. Kalian ini kayak anak kecil aja. Diselesein baik – baik kan bisa. Jangan asal main jotos aja. Iman itu kujangnya disimpen dulu sana. Nanti ada setan lewat saya yang kena”
“Baik Pak Endi”

Iman menuju dapur. Menyimpan kujang orang tuanya.

“Kamu beneran ga tau? Tadi malem kamu ke mana?”
“Saya beneran ga tau Pak Endi. Tadi malem saya membantu bapak menangkap tikus di sawah. Saya tau kalau malam jumat, Ningsih pergi mengaji. Saya ga pernah ganggu dia kalo sedang mengaji”

“Benar Iman mencari tikus, pak?”

“Benar Pak Endi. Tadi malem ia sama saya nyari tikus”

“Yasudah kalo begitu. Iman sini!”

“Baik Pak”, Iman mendekat.

“Saya tanya sekali lagi. Iman kamu tau di mana Ningsih”

“Ga tau Pak. Saya berani sumpah”

“Bohong pak! Pasti dia tau dimana Ningsih”, suara salah seorang pemuda.

“Diam kamu! Saya ga bicara sama kamu! Iman kamu berani sumpah pocong?”

“Berani pak. Saya berani sumpah pocong!”, jawabnya tegas.

Kharisma Pak Endi mampu menenangkan kumpulan pemuda. Mandor sebesar itu saja bertekuk lutut. Tak berani melihat mata Pak Endi langsung.

“Ya sudah kalo begitu. Iman yakin sekali dengan ketidakterlibatannya. Bapaknya juga bilang tadi malem mereka berdua mencari tikus. Ada yang bersama Ningsih tadi malam?”
“Kata Pak Ustadz, Ningsih mengaji setelah sholat maghrib. Setelah itu Pak Ustadz tidak melihat dia lagi”, salah seorang dari kerumunan menjelaskan.

“Oohh. Berarti Ningsih sudah sampai di musholla”

“Iya Pak Endi, waktu sholat maghrib, Ningsih berangkat bareng sama saya. Setelah sholat maghrib, saya pulang duluan”

“Berarti hanya Pak Ustadz yang melihat Ningsih terakhir?”, tanya Pak Endi.

“Setahu kami sih begitu, pak”

“Oh ya sudah. Berarti yang patut dicurigai ya Pak Ustadz itu. Tapi masa iya Pak Ustadz begitu?”
“Tidak, Pak Endi. Pak Ustadz pulang lebih dulu daripada Ningsih. Waktu Pak Ustadz pulang, Ningsih masih melanjutkan mengaji di musholla. Pak Ustadz pulang setelah bubar sholat Isya’”

“Waaah, tambah rumit saja ini. Ada keterangan lagi ga?”, tanya Pak Endi lebih lanjut.

“Orang tua Ningsih bilang kalau beberapa hari sebelum Ningsih hilang, Ningsih ngiri sama Yati”

“Kalau menurut saya, Ningsih dan Komala tergiur dengan cerita Yati. Mereka ikutan cari kerja di kota. Ini semua pasti ujung – ujungnya duit. Jaman sekarang perempuan butuh dandan. Pengen ini pengen itu. Kampung ini ga menyediakannya. Mereka minggat ke kota”

“Iya mungkin saja begitu. Mereka ngiri sama Yati. Yati kan sekarang udah jadi orang. Udah kaya. Dulu dia apa? Makan aja ngutang beras sama saya. Sekarang? Lihat saja kelakuannya. Belanja ke pasar udah kayak mau nyinden. Pake pemerah pipi segala. Terus lidahnya udah berubah. Sekarang tempe ga enak katanya. Ayam melulu kadang sapi.”, pemimpin pemuda sekarang meralat tuduhannya.

“Iya mereka ngiri tuh”, yang lain menimpali

“Ya sudah ayo pada bubar! Siang panas begini malah mau berantem. Bukannya kerja, ini malah ngurusin orang lain. Ayo bubar! Bubar!”

“Begini adik – adik semua, kita tunggu saja nanti hari raya. Palingan mereka juga udah kembali ke sini. Kita lihat saja bawa apa mereka. Ya udah ayo sekarang pulang aja!”,

Pak Endi menutup bicara. Pemuda kampung meminta maaf. Jajang, pemimpin mereka, mewakili. Iman masih dongkol Pelipisnya memang tak mengeluarkan darah. Hanya saja darahnya masih mendidih. Satu persatu mereka bubar. Meninggalkan Iman yang meluap – luap.

***

Pak Endi merupakan seorang yang paling disegani di Kampung Mekarsari. Melebihi kepala adat, Pak Saring. Rumahnya agak menjorok ke dalam kampung. Tak begitu besar memang, halamannya saja yang luas. Halaman itu dipakai untuk menumpuk hasil panen untuk selanjutnya dijual ke kota. Sebagian besar sawah pertanian di kampung, dipunyai Pak Endi. Warga sangat hormat kepadanya. Banyak dari mereka yang hidup dari sawah milik Pak Endi. Ia juga sangat royal. Sering memberikan upah lebih kepada anak buahnya. Anak buahnya belasan. Tak heran ia begitu disegani.

Ningsih juga bekerja di ladang Pak Endi. Ia pulang ketika petang sebelum maghrib. Dan ternyata hari itu adalah hari terakhir Ningsih bekerja. Karena hingga kini, Ningsih tinggal nama dan foto. Fisiknya tak diketahui lagi. Ayah dan Ibunya hanya bisa pasrah. Mereka menyerah mencari kabar anaknya. Mereka sudah rela anaknya diambil kembali oleh tuhan. Padahal belum bisa dipastikan Ningsih sudah tewas apa belum.

Waktu pertikaian berlangsung, Ia, mandor, dan dua orang anak buahnya sedang memasang beubegik. Mencegah sawah di perbatasan kampung itu habis dimakani burung. Sebetulnya hama burung tak begitu mengganggu di kampung ini. Lebih sering belalang atau wereng.
Pak Endi tak seperti majikan yang diceritakan di dalam sinema elektronik. Biasanya yang ditampilkan dalam televisi, tuan tanah itu kejam. Semena – mena terhadap warga sekitar. Anak buahnya didzolimi. Lalu meminjamkan uang kepada orang yang membutuhkan uang cepat dengan bunga yang tidak masuk akal. Istrinya banyak. Tidak, Pak Endi tidak seperti itu. Istrinya hanya satu. Dermawan bukan main.

Pak Endi tak memiliki anak. Meninggal dalam usia balita setahun kemarin. Sakit keras katanya. Sepeninggal anaknya, Pak Endi berusaha giat menjalankan usaha pertaniannya. Hasilnya baru dinikmati setahun terakhir setelah enam tahun berjalan. Kini, Pak Endi menjadi penyedia hasil pertanian terkemuka di kota. Sawah bertambah luas seiring dengan bertambahnya pemasukan. Taraf hidup rakyat juga meningkat karena Pak Endi.

***

Dua pekan lalu Yati pulang ke kampung Mekarsari. Majikannya sedang berlibur ke Singapura. Yati jelas tak diajak. Hanya diberi uang saku lebih untuk bekal pulang. Pekerjaan rumah tangganya libur seminggu. Uang sakunya dibarter dengan segala kemewahan dan kebutuhan keluarganya di kampung.

Bawaannya melimpah. Jari manisnya mengkilat. Leher juga. Bajunya bukan daster longgar lagi. Bhnya juga kini tiap hari ganti. Tak harus menunggu berbau apek. Logatnya juga sedikit berubah. Seperti di sinetron menurut orang – orang. Baru juga tinggal setahun di kota, gayanya sudah selangit. Apa – apa saja dibandingkan dengan kota. Televisilah, teleponlah, bajulah, celanalah, apa saja yang penting terlihat sukses. Yang penting bisa dianggap oleh warga kampung.

Berita kepulangan Yati dengan cepat menyebar ke seluruh kampung. Berita tentang Yati yang sekarang sudah jadi orang punya juga ikutan menyebar. Hal ini juga sampai ke telinga Ningsih dan Komala. Mereka langsung menyambangi gubuk Yati sesaat setelah mereka tahu Yati sudah berada di Kampung Mekarsari.

Ningsih dan Komala memang teman dekat Yati. Mereka teman main karet dan petak umpet sedari dulu. Dari mereka belum menstruasi dan membesar payudaranya serta tumbuh bulu. Yati menceritakan pengalamannya bekerja di kota kepada mereka. Bersama majikan orang kaya. Orang yang lebih kaya daripada Pak Endi. Ditunjukkannya hasil Yati bekerja. Emas imitasi, baju dan celana mahal, dan pakaian dalam yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Dan mereka cemburu. Yati senang melihat mereka cemburu. Yati yang dulu makan harus mengutang kiri kanan kini bisa sumringah. Jumawa.

***

Tiga bulan berselang. Lebaran idul fitri tiba. Yati mudik. Tapi Ningsih dan Komala tidak ada. Orang tua Ningsih dan Komala masih berharap anaknya kembali. Harapan kosong sayangnya. Ningsih dan Komala tak pernah pulang. Yati mengaku tidak tahu menahu dengan keberadaan mereka. Yati tidak mau dikaitkan. Yati tidak mengajak mereka ke kota. Yati hanya pamer.
Di saat keluarga lain bersuka ria dengan datangnya hari raya. Berkumpul. Orang tua Ningsih hanya bisa meratap. Ingin sekali mereka menghujat pencipta-Nya. Hingga saat itu, secuil kabar tentang Ningsih tidak pernah bertambah. Mereka hanya bisa menangis menatap gambar diri Ningsih.

Iman sedikit hilang kesadaran. Semenjak hilangnya Ningsih, Ia sering mengurung diri di kamar. Tak mau makan. Minum hanya segelas kecil. Itu pun dipaksa ibunya. Kejiwaannya bergeser. Ayahnya kini bekerja sendiri. Iman tak lagi membantu. Iman malah diberikan ruangan khusus di belakang rumahnya dan dirantai kakinya. Iman terkadang mengamuk tanpa sebab.
***

Delapan bulan kemudian peristiwa hilangnya Ningsih sudah berganti dengan topik pembicaraan baru. Tentang betapa kaya dan dermawannya Pak Endi. Tanahnya semakin luas saja. Buruhnya tiga kali lipat. Rumahnya dipenuhi kayu jati. Mobilnya kini sedan. Mobil pick up-nya sekarang menjadi kendaraan operasional pengangkut hasil panen. Tak lagi digunakan untuk keperluan sehari – hari. Musholla di kampung juga kini rapi. Infaq dari Pak Endi yang merapikannya.

Ningsih dan Komala memang sudah tiada. Hanya saja sesekali terdengar suara sinden di tengah malam. Malah terkadang suara isak tangis perempuan. Warga tidak tahu darimana suara itu berasal. Hanya sayup – sayup terdengar dari sawah Pak Endi. Warga juga tidak tahu satu hal. Beubegik – beubegik itu sering terlihat muram.
---------

*Beubegik adalah boneka pengusir hama dalam bahasa sunda

[Jogjakarta. 29 Juni 2010. 05.01 PM. Fikri]

Jumat, 02 Juli 2010

Melancholic Bitch - Balada Joni dan Susi

Tulisan ini adalah untuk melunaskan janji untuk menulis tentang Melancholic Bitch. Review ini memang tak sebagus penulis lain. Begitu banyak ulasan yang menunjukkan kualitas album ini. Tulisan ini tak ada apa - apanya jika dikomparasikan dengan yang lain. Coba saja ketik Melancholic Bitch Balada Joni dan Susi pada mesin pencari, maka akan disuguhkan banyak. Tulisan ini hanya untuk menunjukkan betapa cintanya saya dengan Melancholic Bitch seperti halnya betapa cintanya Joni dan Susi.

Saya pertama kali melihat band ini secara langsung di Taman Budaya Yogyakarta. Saat itu saya menunggu Efek Rumah Kaca yang menjadi penutup di sebuah gigs. Efek Rumah Kaca masih lama. Sekitar empat band lagi. Sambil menunggu, saya dan teman saya mencari tukang minuman untuk membeli air mineral dalam kemasan gelas kecil. Ya! Sudah tertebak, airnya dibuang untuk disubstitusi oleh anggur merah.

Saya dan teman saya menenggak anggur merah yang saat itu masih delapan belas ribu di teras di Taman Budaya Yogyakarta. Saat sedang melakukan ritual sebelum menonton music itulah, datang seorang perempuan berparas manis. Manis sekali. Herannya, lawan jenis di sebelahnya tak sebanding. Saya dan teman saya bergunjing. Hahaha. Lawan jenisnya memakai kacamata dengan lensa hampir menutupi muka dengan pinggiran hitam tebal.

“kok mau ya cewenya? Cowonya aneh begitu”, teman saya bertanya.

“pasti cowonya punya sesuatu, nyo”, apologi saya. Karena saya merasa dia jauh lebih keren dibanding saya. Hahaha.

Dan benar. Ketika Efek Rumah Kaca tinggal menunggu satu band lagi, saya dan teman saya menyudahi menganggur. Masuk ke dalam venue. Si lawan jenis yang aneh itu sedang berada di tengah panggung. Merokok dan memegang mikrofon. Dan dia sangat keren! Dia Ugoran Prasad, vokalis yang juga penulis lirik Melancholic Bitch yang juga penulis cerita pendek untuk Kompas. Saat itulah saya merasa saya harus jatuh cinta dengan band ini. Padahal album Anamnesis, sudah mengerak di memori computer.

“tuh kan bener, dia vokalis keren begitu”, teman saya tertawa setelah saya ucapkan kalimat itu.

Album Balada Joni dan Susi memang mantap. Tidak banyak band di Indonesia yang berkonsep seperti ini. Konser promo albumnya di Salihara, Jakarta Selatan, menuai banyak pujian. Sempurna kata teman saya, Priambodo Adi Nugroho. Album ini berisi tentang perjalanan Joni dan Susi. Tokoh yang menurut saya mencerminkan banyak pasangan di Indonesia. Album ini juga membuat saya harus menambah nama Ugoran Prasad ke dalam pelirik kegemaran saya. Setelah Jimmy Multhazam dari The Upstairs dan Cholil dari Efek Rumah Kaca.

1. Prolog

Lagu ini berdurasi hanya satu menit lebih setengah kurang. Sesuai dengan judulnya, lagu ini hanya prolog. Prolog dari Ugoran Prasad, vokalis, untuk mengintrodusikan siapa Joni dan siapa Susi.

Ketika Joni dua satu dan Susi sembilan belas

Hidup sedang bergegas di ruang kelas

Kota - kota menjalar liar dan rumah terkurung dalam kotak gelas

Dingin dan cemas

Namaku Joni

Namamu Susi

Namamu Joni

Namaku Susi

2. Bulan Madu

Bercerita tentang Joni dan Susi yang berbulan madu dalam imajinasi. Venezia, melalui Nepal, Oslo dan Budapest tidak terlewati, Nanking, Rio, dan Lima juga tak terlalui. Mereka berdua terlalu kencang meninggalkan Cape Town. Intro piano yang lambat diakhiri dengan teriakan “tinggalkan Cape Town” cukup melekat di telinga.

3. 7 Hari Menuju Semesta

Lagu ini lagu favorit saya di album ini. Subjektifitas saya, lagu ini merupakan lagu gombal yang sangat amat keren sekali. Hahaha. Drum dan gitar yang enerjik. Intronya bisa menganestesi kepala untuk digoyangkan ke kiri ke kanan sesuai irama. Liriknya jawara. Berisi tentang agenda Joni kepada Susi selama seminggu tujuh hari. Bagian terkeren dari liriknya adalah,

jika aku miskin kau negara

jika aku mati kau kematian lainnya


4. Distopia

Intro keyboard diiringi dengan bass yang mengalir. Lagu ini dinyanyikan berdua oleh Ugoran dan Silir. Liriknya hanya sedikit. Bercerita bagaimana kereta bisa menghantar Joni dan Susi menuju semesta dan Janji Joni dan Susi untuk bersama. Bagian favorit dalam lagu ini adalah tentu saja ketika suara synth bercampur dengan melodi bass yang nakal. Memaksa badan untuk bergerak. Lagu ini lagu mudah dihapal dan satu - satunya lagu yang bisa dinyanyikan bareng.

Bersama - sama kita, bersama - sama selamanya

Bersama - sama kita, bersama, bersama.

5. Mars Penyembah Berhala

Lagu ini merupakan lagu yang paling ditunggu ketika Melancholic Bitch di atas pentas. Lagu ini lagu yang paling anthemik dalam album ini. Menurut saya, lagu ini bercerita tentang bagaimana televisi membunuh imajinasi. Bagaimana televisi menutupi realita. Bagaimana sinema elektronik menipu. Lagu yang sangat bertenaga. Dentuman drum. Cocok didengarkan jika alcohol sudah bereaksi di dalam kepala. Hahaha. Bagian refrain yang enak untuk diteriakkan secara repetisi.

Siapa yang butuhkan imajinasi, jika kita sudah punya televise

Pada bagian akhirnya, refrain diulang berkali - kali diiringi oleh semacam dakwah yang pepat dalam empat belas inchi.


6. Nasihat yang Baik

Lagu pelan. Petikan gitar dan keyboard yang mengalun lambat. Lagu ini semacam lullaby Joni kepada Susi. Susi terlalu lelah berkontemplasi, maka tidurlah.

7. Propaganda Dinding

Lagu yang didominasi suara keyboard. Drum dan keyboard yang konsisten. Lirik yang ironis dan miris. Susi lapar. Joni mencuri roti untuk Susi. Sementara di luar sana, supermarket tak pernah sepi. Wow! Lirik yang jenius. Semoga engkau masuk surga Ugoran!

Supermarket dan busung lapar adu lari

Aku tak gila ketika didengarnya dinding berbisik

pelan berbisik: curilah roti.

Takkan kubiarkan kau mati.


8. Apel Adam

Minimalis. Mirip narasi kepada Joni yang tak bisa mencuri apel dan roti untuk Susi yang lapar. Joni ditangkap. Joni dikurung.

Jangan libatkan polisi di lagu ini

Jangan libatkan polisi di cinta ini



Masih ada empat lagu lagi, jadi silahkan cari tahu sendiri. Dan jangan salahkan saya, jika setiap bangun tidur harus menyetel lagu mars penyembah berhala atau 7 hari menuju semesta. Album ini sangat adiktif. Sangat. Berhati - hatilah. Sudah beberapa bulan menjadi penghuni tetap daftar main aplikasi pemutar mp3 saya. Berhati - hatilah sungguh!

Jadi meminjam istilah majalah Trax, mendengarkan album ini sekilas seperti membaca realita Indonesia lewat lagu.

Absurd Ini Totalitas

Kejadian absurd sepertinya memang menjadi garis hidup gw. Setelah cerita tentang rambut gondrong, bapak kost yang laknat, tetangga kamar kost yang aneh, gw akan bercerita tentang kejadian absurd di kost gw yang terakhir. Gw masih tinggal di kost tersebut setelah pindah dua kali. Yang pertama karena diusir bapak kost dan yang kedua karena teman sekamar yang terlalu baik. Nanti akan gw ceritakan teman sekamar yang terlalu baik ini.

Yang akan gw ceritakan sekarang adalah cerita kesurupan. Entah kesurupannya hanya fiktif atau fakta. Tapi cerita ini fakta. Jadi kejadian kesurupan itu sekitar setengah sepuluh malam medio 2008. Terdengar bunyi piring tersenggol.

“Krompyaaangg!!”

Gw ga peduli. Masih saja melanjutkan aktivitas gw di kamar.

“Kyaaaa. Arggghhh!”

Agak sedikit merasa janggal. Tapi gw berpikir mungkin piring yang tersenggol tadi jatuh menimpa kaki yang menyenggol. Gw masih ga beranjak mencari tau.

“Tolooonggg!”

Gw langsung ke luar kamar melihat apa yang terjadi. Ternyata tempat kejadian perkara sudah ramai.

“Si Yani kesurupan, si Yani kesurupaaaan!”

Yani adalah penghuni kost ini juga. Iya kost gw kost campur. Pria dan wanita bisa tinggal di sini. Hal itulah yang membuat gw pindah ke kost ini. Haha bukan deng. Gw pindah karena dua teman gw ngekost di sini dan kost ini tak ada peraturan jam malam, teman menginap, dan lain - lainnya. Peraturan kost ini hanya satu, nunggak ga boleh lebih dari dua bulan. Hahaha.

Terus gw liat ke dalam kamarnya. Si Yani sedang terbaring memakai baju tidur yang transparan. Bra berwarna gelap jelas terlihat dibalik baju tidur semacam lingerie transparan. Belahan dada ke mana - mana dan celana dalam terumbar rapi. Seisi kost panik sekaligus diam. Diam melihat Yani yang kesurupan. Bukan karena bingung mesti ngapain. Diam karena pertunjukkan lingerie belahan dada dan celana dalam terlalu sayang untuk dilewatkan. Haha.

Mbak Tari, penghuni kost ini juga, langsung saja memakai mukena kembali. Tadinya dia sedang sholat ketika peristiwa agak naas itu terjadi. Dia yang teriak meminta tolong. Dia kewalahan menghadapi Yani. Tapi apa daya, yang diminta tolong malah tergiur dengan aurat.

Dan munculah Mas Gatot. Mas Gatot adalah orang yang dituakan di kost. Dia ini sangat amat mumpuni, ciamik, lihai, juara nomer satu, untuk masalah selangkang. Lalu apa hubungannya dengan orang kesurupan? Err, si Yani adalah satu dari (seinget gw sih) enam teman kasur Mas Gatot.

“Panggil orang pinter! Panggil orang pinter!”, Mas Gatot berteriak memerintah.

“Oke mas, aku berangkat”, salah satu penghuni kost menyanggupi, sesaat seperti adegan sinema elektronik.

Sambil menunggu kedatangan orang pintar, seisi kost berusaha mengeluarkan energy yang masuk ke Yani. Dan kejadian absurd ini akan segera dimulai.

Kost gw ini termasuk kost laknat. Hahaha. Masing - masing KTP anak kost, menyebutkan agama mayoritas di dalamnya. Tapi yang melakukan ibadah bisa dihitung dengan jari. Bukan dengan jari jemari. Iya hanya seorang. Hahaha.

“Ayo ngaji, siapa tau ngaruh!“

“Siapa yang bisa ngaji?“, pertanyaan yang sia - sia karena jawabannya sudah diketahui sebelum pertanyaan ini terlontar.

Dan akhirnya, dari kost ini terdengar lantunan ayat - ayat Al Quran. Tapi secara digital! Mas Gatot mencari mp3 ngaji di tumpukan piringan kompaknya. Setelah ketemu, knop speaker aktif yang tercolok langsung dengan computer dipasang maksimum. Hahaha. Si Yani tetap saja berteriak. Dengan itu gw dapet pelajaran moral ngaji digital tak direkomendasikan untuk menyembuhkan kesurupan.

Belum, keabsurdan ini belum selesai. Datanglah orang pintar yang dipanggil. Ternyata yang datang adalah sekomplotan anak masjid. Salah satunya adalah anak kampus gw. Okay, mereka langsung merangsek masuk ke dalam kamar perkara. Begitu melihat si Yani, mereka terperangah.

“Astagfirullahaldzim! Ana ga kuat ngeliatnya. Mas, antum - antum ada yang punya sarung buat nutupin auratnya?”

Temen - temen kost gw langsung menjauh. Berkumpul di depan kamar Mas Gatot.

“Gila! Yang imannya kuat aja ngeliat Yani kelojotan apalagi kita. Liat aja, udah pake baju transparan gitu, belahan dada ama kancut kemana - mana”

Sertamerta diamini oleh yang lain, “amiiiiiinnn”

Yani masih berontak, salah satu dari anak masjid menghubungi rekannya. Mereka tak tahan syahwat karena akhwat. Mereka memanggil teman sejawatnya yang lawan jenis. Agar lebih leluasa dalam mekanisme pengeluaran energy gaib dari tubuh Yani. Beberapa lama kemudian, datang lagi empat muslimahwati. Mereka langsung meminta rambut si Yani dikuncir. Katanya kalau rambut tergerai setan akan susah keluar dari raga Yani. Absurd. Terpaksa kuncir rambut gw serahkan. Ergh!

Mereka mengaji dengan suara lantang dan berusaha mengeluarkan roh yang katanya kuntilanak di depan kost.

Tiba - tiba, Mas Gatot memanggil salah satu dari kami. Mukanya gusar. Keringat menetes deras. Yang dipanggil langsung saja menghampiri.

“Hey! Sini!”

Mas Gatot berbicara terengah sambil mengeluarkan selembar limapuluh ribuan dari dalam dompetnya. Gw pikir duit itu bakal semacam infaq kepada komplotan remaja masjid tersebut. Dalam hati gw berpikir dermawan banget ini orang. Baik hati walau kelakuan agak minus. Tapi kalimat selanjutnya tak pernah terbayang di otak gw.

“Aku capek banget megangin Yani. Badanku pegel semua. Sejam megangin. Dia berontak terus mukul - mukulin aku. Nih, duit! Sana beli anggur. Aku mau minum!”

Gw ngakak di tempat.

Yani akhirnya bisa reda. Ia tak histeris lagi. Empat muslimahwati tadi pamit. Muslimahwan belum. Mereka mengumpulkan anak kost di depan bangunan kost.. Kita berkumpul di atas tikar yang sudah tergelar tidak rapi di halaman parkir.

“Saya lihat di sini auranya gelap. Terus hutan di depan sana auranya juga gelap, jadi hutan dan kost ini sama auranya. Di sini ada yang rajin sholat? Sholat terus yang rajin. Peristiwa begitu akan sering terjadi jika iman kita kuat. Kalau bisa, kost ini dingajiin seminggu penuh setelah ini. Ingat ya! Seminggu penuh dingajiin! Blablabla”

Nasehat - nasehat spiritual masih saja terdengar selama setengah jam. Yang lain manggut - manggut entah karena apa.

Setelah anak - anak masjid berpamitan dan bersalaman memohon diri, pesta anggur dimulai. Absurd sekali memang! Kita minum sampai jam empat pagi, karena pada takut tidur setelah kejadian tersebut. Lalu, nasehat spiritual selama setengah jam menyublim di udara. Anjuran mengaji selama satu minggu penuh untuk memagari kost dari kekuatan gaib bertendensi negatif berkonversi dengan minum anggur seminggu penuh. Anak - anak kost pada takut tidur di bawah jam duabelas malam karena alasan yang sama.

Sudah berakhir? Belum! Ini belum berakhir. Setelah pesta anggur setelah mendengarkan saran spiritual tadi, Mas Gatot menghilang. Pun Yani. Ternyata mereka berdua berada di kamar Yani. Setelah tidak terdistorsi dengan roh, hantu, atau apalah, Yani bertransformasi kembali menjadi teman tidur Mas Gatot. Hahahahahaha.
-----------------

*sekarang Yani sudah menikah dan hidup bahagia tanpa kuntilanak lagi.

[Jogjakarta 10 Mei 2010. 10:48 AM. fikri]

Piala Dunia Afrika Selatan 2010 Semakin Membuat Orang Indonesia Merasa Piawai Bermain Sepakbola




“Goblooook! Harusnya oper ke kanan!”

“Dasar pelatih bego, masa si Riquelme ga dipanggil?”

“Halaahhh begooo! Gawang segede gitu malah ngincer tiangnya”

“Toloooool! Udah 1 on 1 sama kiper masih melenceng juga”

“Goblook banget jadi orang! Pengen hattrick tapi penalty ga masuk. Toloool!”

“Ah wasitnya tolol, kayak begitu ga offside?”

“Tuh kan wasitnya goblok, dari tadi ga ngasih kartu”

“Pelatih bego! Masukin Fabregas kalo mau menang banyak!”

“Hih idiot! Malah gocek - gocek, bukannya dicrossing!”

“Halaaahh tendangannya kayak Ponaryo Astaman”

“Pemain kayak begitu cocoknya main di Persija”

“Ini pemain malah dandanin rambut, bukannya dandanin skillnya dulu”

“Itu atas kosooong! Oper ke sana begoooo!”

“Kiper kayak begini kok dimaenin Fabio Capello? Mendingan David James kemana - mana deh”

“Prancis maennya jelek banget! Pokoknya setelah ga ada Zidane mereka jadi bodoh”

“Iya ya bola Jabulani emang aneh. Tendangannya bisa kayak gitu”

“Pemain kayak dia sih cocoknya jadi penghangat bangku cadangan”

“Masa kaptennya Mascherano? Ini pelatih tolol banget sih?”

“Ya ampuuun! Blanco masih main?”

“Veron? Ga salah tuh Maradona?”

“Korea Utara maen bola apa latihan militer sih?”

“Begooooooo!”

“Tolooooool!”

“Gobloooook!”

——————–

*mencuri dengar dari orang sekitar. Saya tidak hipokrit, saya termasuk walau tak melulu

[Jogjakarta. 23 Juni 2010. 11:00 AM. fikri]