Minggu, 13 Februari 2011

Anggap Saja Apologi

Saya paling tidak bisa menjawab jika mendapat pertanyaan menyoal perkara cita – cita. Cita – cita? Untuk kondisi di Indonesia, pertanyaan cita – cita mungkin dapat disinonimkan dengan pertanyaan ingin kerja di mana atau berkarir di bidang apa. Saya benci mendapat pertanyaan itu, saya pasti tidak bisa menjawab. Jawaban saya selalu sama, cita – cita saya adalah mempunyai cita – cita. Absurd? Tidak ah, hahaha.

Cita – cita saya selalu berubah. Ketika masih bercelana merah, saya bercita – cita menjadi dokter. Terdoktrin ayah saya yang hanya perawat rumah sakit. Standar orangtua, selalu ingin anaknya melebihi pencapaian orangtua. Hingga diberi wejangan tentang seluk – beluk kedokteran. Otak saya yang masih sekerdil itu (sampai sekarang masih kerdil, percayalah!) menurut. Lalu cita – cita itu bertambah satu variabel, menjadi: dokter yang juga pesepakbola. Tahu Fachry Husaini? Ia adalah pemain bernomer punggung 7 di kesebelasan PKT Bontang yang juga sempat menjadi andalan timnas Indonesia. Karena beliaulah saya ingin menjadi pesepakbola. Dokter yang handal bermain bola? Terdengar berkharisma dan atletis.

Tapi cita – cita itu kemudian berubah drastis. Kalau kata orang, seratus delapan puluh derajat. Ketika penjurusan kelas tiga SMA, saya hanya masuk IPS. Saya menggunakan “hanya” karena stigma jurusan IPS itu rendah. Maka secara otomatis, dokter yang handal bermain bola dihapus. Pencoretan dokter dalam daftar turut membawa cita cita yang baru, kali ini menjadi pelawak. Salahkan Komeng untuk hal ini. Melihat Komeng yang hanya iseng dan ‘ngatain’ orang, ia dapat rupiah. Tak sedikit pula, sialan! Saya iri!

Lalu pelawak berubah lagi. Dulu masih ada sejenis festival melucu untuk tingkat mahasiswa. Sekarang sepertinya sudah tidak keren lagi, sehingga tidak terdengar lagi lomba semacam itu. Lagi – lagi variabel itu bertambah. Menyamping lebih tepatnya. Saya ingin menjadi anak band yang jago membuat orang lain tertawa. Saat itu Kaka Slank menjadi idola. Sayang sekali, skill memainkan instrumen musik saya jauh di bawah rata – rata. Lagipula saya rasa saya terlalu ganteng untuk menjadi pelawak dan terlalu jelek untuk menjadi pemain band (lagi – lagi stigma di sebagian besar rakyat Indonesia, pelawak jelek dan anak band ganteng).

Melihat ke atas (maksudnya ke paragraf di atas) cita – cita saya dipengaruhi satu tokoh sentral. Dokter karena doktrin ayah saya, pemain sepakbola karena Fachry Husaini, pelawak karena Komeng, dan anak band karena Kaka Slank. Lalu bagaimana sekarang? Maksudnya, jika cita – cita yang tersebut di atas merupakan masa lalu, harusnya sekarang berubah. Iya sekarang harus berubah. Saya ingin proses itu berbalik. Dari pasif menjadi aktif. Dari awalan di- menjadi awalan me-. Dari diinfeksi orang lain menjadi membaptis.

Siapa yang tidak ingin hobinya dikompensasi? Misalnya, melukis dan menghasilkan rupiah. Atau menempelkan upil ke tembok dan diberi gaji bulanan. Sungguh menyenangkan. Berkarir dari hobi? Priceless. Karir merupakan kata yang bermetamorfosis dari bahasa asing, career. Karir berarti posisi seseorang dalam pekerjaan selama beberapa masa. Saya lebih suka mengasumsikan kalau karir adalah kata serapan dari carrier, lagipula dalam kamus, kata “karier” juga eksis, jadi mungkin saja karier berasal dari carrier. Iya, saya lebih suka jika karir atau karier saya adalah sebagai pembawa. Membawa apa saja. Contohnya, guru SD membawa ilmu dan mentransfernya ke anak didiknya. Ilmu adalah medianya, murid bertambah pengetahuan adalah outputnya.

Jika asumsi saya diimplementasikan secara langsung, saya masih sedikit berkhayal imajinatif. Dengan predikat saya sebagai mahasiswa abadi dan berhobi menulis, maka karir saya akan seperti… Sebentar, saya masih bingung, hehehe. Jika tulisan sebagai media, maka output minimumnya adalah membawa orang yang membaca tulisan saya untuk tidak menjadi mahasiswa abadi. Yah, itu efek minimalnya, anggap saja ini apologi mahasiswa angkatan 2005 yang tak kunjung lulus.

Ah sudahlah, mungkin saya mengigau dan meracau. Saya cuma ingin lulus kuliah dan membawa sesuatu. Setidaknya membawa orang di lingkungan saya untuk ikut bercita - cita. Itu intinya.

[jogjakarta. 10 Februari 2011. 03:03 AM. fikri]

2 komentar:

  1. Hahaha
    Fik, gak usah rendah diri jd Mahasiswa abadi. Ini juga kita bakal samaan. Beda umur ama angkatan aja.
    Tuaan situ juga sih sebenarnya.

    Hahaha
    Uppsss

    BalasHapus
  2. Fik fik fik, tau ga ternyata gw juga pernah menulis soal ambisi dan cita-cita.

    http://gitaditya.blogspot.com/2007_09_01_archive.html

    Wew.. gw bahkan lupa pernah bisa mikir kayak gitu..

    BalasHapus