Senin, 13 Desember 2010

Karangwuni Festival 2010

Minggu, 12 Desember 2010, saya terbangun jam enam pagi karena terganggu suara musik dangdut yang begitu kencang. Seminggu sebelumnya memang ada hajatan nikah di sebelah kost. Tepat di sebelah kost. Saya awalnya mengira dangdutan tadi adalah sekuel dari resepsi pernikahan. Berhubung suaranya keras sekali, saya segera menuju ke luar kamar kost. Amplifier memang mengarah langsung ke bangunan kost saya. Jarak antara amplifier dengan bangunan kira – kira dua meter. Haha. Pantas saja bising.


Ternyata bukan. Acara tersebut adalah bagian dari Karangwuni Festival 2010. Yang sedang berlangsung sekarang adalah kesenian kuda lumping. Grand Opening-nya 18 Desember 2010 (tertulis dalam spanduknya memang demikian). Acaranya antara lain donor darah, sepeda hias, tabligh akbar, dan kesenian daerah. Tadi sempat gerimis, langit juga gelap, tapi lima menit kemudian lenyap. Ajaib.











Dalam acara begini, selalu ada tukang. Tukang makanan berjejer. Dari mie ayam, es krim, cireng, cimol, siomay, hingga ke sate, dan bakso, semuanya enak ya! Haha. Tukang mainan, tukang yang paling dihindari ibu yang membawa anak. Dulu ibu saya juga begitu. Haha. Balon berbentuk bola, pesawat, dan jagoan kartun, mobil – mobilan, robot – robotan, dan boneka. Tukang minuman lunak (softdrink), tukang es krim potong, dan tukang es krim bermerek terkenal, dapat dua keuntungan. Menonton hiburan gratis dan dagangannya laris.







Tukang parkir, hanya bermodal rompi oranye dan beberapa lembar kertas, bisa memaksa orang untuk menyerahkan seribu rupiah. Tadi saya tidak sempat menghitung berapa jumlah motor yang parkir di depan kost saya. Sekitar tigapuluhan. Jika dikali seribu per motor, berarti tigapuluh ribu. Lumayan, beban rokok sebungkus, makan siang dan makan malam sudah tertutup.





Ibu – ibu menggendong anaknya dengan berbagai posisi. Menggendong standar, menggendong standar sambil jinjit, menggendong di pundak, menggendong di pundak sambil jinjit, menggendong punggung, dan menggendong punggung sambil jinjit. Haha.





Juga dipenuhi remaja perempuan tanggung yang merias diri tidak seperti seusianya. Tadinya saya mau memotret mereka, tetapi keburu dipelototi kawan prianya. Saya takut dikira fedofil. Kawan – kawan prianya memakai kemeja seragam, dibelakangnya ada tulisan “tawon nd@s”. Mungkin semacam geng motor. Atau geng penonton jathilan. Entahlah.





Tulisan tentang jathilannya? Ah, saya rasa anda lebih tahu tentang kebudayaan ini. Saya tidak berani diprotes. Dan ketika saya sedang menulis ini, terdengar suara perempuan berteriak. Saya ke sana lagi ya!








[jogjakarta. 12 Desember 2010. 02:14 PM. fikri]



Minggu, 21 November 2010

Heh Bego! Rokokmu Matikan!

Heh bego! Rokokmu matikan! Kau mau nyala bara apinya terlihat warga? Hah! Mau? Terus nanti kita mampus dipukulin bambu! Hah! Mau?!”

“Iya bos, maaf saya lupa”, jawabnya terbata.

“Ya sudah cepetan matiin! Malah bengong”

Dede melempar puntungnya. Kaki kirinya mengejar cahaya jingga di tanah. Sol sandal jepitnya menginjak rapat. Sampai tidak berpendar lagi.

Mereka berdua kini diam. Seolah menunggu sinyal dari alam. Padahal belum tentu tuhan mengizinkan. Tapi apa boleh buat, segepok duit yang dijanjikan juragan membuat mereka menghapus kata dosa dari akalnya. Iming - iming duit dan imajinasi mereka tentang kaya membiaskan ajaran orang tua yang mereka terima sedari dalam timangan.

Gadis sasaran baru saja memakai sandal. Mereka bersiap. Lagi - lagi menunggu sinyal dari alam.

Tangan Jalu yang besar mampu menutup hidung dan mulutnya. Beberapa saat ia meronta. Tapi pingsan setelah campuran bahan kimia yang ditumpahkan ke saputangan dihirupnya. Ia terjatuh. Sertamerta Jalu membawanya ke semak - semak. Jalu dan Dede berganti tugas sekarang. Jalu mengawasi situasi, Dede menjaga gadis.

Jalu bergerak ke tempat yang lebih gelap. Ditinggalkannya Dede dan korban di semak - semak sana. Menunggu saat yang tepat untuk kabur. Dede malah asyik masturbasi sambil meremas - remas payudaranya. Tubuhnya yang molek memang menimbulkan syahwat.

“Bangsat! Kamu malah mainan burung! Sudah hentikan. Kalau dia bangun gimana? Goblok kamu! Rokokmu matikan! Sudah aku bilang dari tadi! Kamu mau mati digebuk alu?”

Lagi - lagi Dede melempar puntungnya. Ia menurut perintah dan memakai celananya kembali. Tanggung memang. Tapi ia lebih takut kepalan tangan Jalu meninggalkan bekas di pelipisnya. Ia menyudahi aktivitasnya dan fokus kepada si gadis. Jalu membopong tubuh mungil di atas pundaknya. Dede berjalan lebih dulu sepuluh langkah. Mata mereka mengawasi sekeliling. Takut ada yang memergoki.


***


“Kerja bagus Jalu! Kamu juga Dede! Uangnya besok bisa kamu berdua kantongi. Sekarang bawa dia ke gudang belakang. Jangan sampai ketauan si Inah!”

“Siap juragan!”

Jalu dan Dede mengangkat tubuh gadis. Kali ini berdua. Jalu mengangkat tangan dan Dede bagian kaki.

“Jaluu!”

“Ya juragan?”

“Setelah kau bawa dia, jangan lupa siapkan beubegiknya”

“Beres juragan!”

--------------

[Jogjakarta. 17 Juli 2010. 11:45 AM. fikri]

Jumat, 23 Juli 2010

Hey Pemuja Simbol!

Apa kabar? Sudah berdoa hari ini? Belum? Ah tak masalah. Lagipula, tuhan kan maha mengerti. Tak usah berdoa juga dia sudah mengerti keinginanmu. Apa? Dia tak mengerti? Ya sudah jangan disembah, dia bukan tuhan kalau tak mengerti.

Apa kabar? Sudah mengecek rekening hari ini? Belum? Ah tak masalah. Lagipula, berapa yang kau punya untuk membuat saya merdeka?

Apa kabar? Sudah rapi hari ini? Belum? Ah tak masalah. Lagipula, cermin yang kau gantung di sebelah pintu kamar mandi itu selalu sama tiap hari. Tak perlu bercermin lagi. Selalu saja merefleksikan apa yang kamu mau bukan?

Eh tunggu, kamu bilang kamu tadi belum berdoa? Tak perlu. Kamu sudah bermain tuhan kok. Hehehe :D

Ada Mayat

Dia mampus tertimpuk uang koin dari atas metromini, meninggal terkena azab pedih ketiga tuhannya, dan mati terlilit rambut pendeknya.

Di Pasar


Seorang anak merengek terus. Ibunya kalang kabut. Dompet tak tersisa uang lebih. Mainan itu murah, tapi beras lebih penting.

Seorang pedagang mainan tersenyum penuh harap. Kereta kayu maju mundur memancing. Berharap sangat ibu terbujuk. Ia belum makan dari pagi.


[jogJAKARTA. 7 Juli 2010. 04:38 PM. fg]

Sabtu, 03 Juli 2010

Ningsih

“Ningsih hilang! Ningsih hilaaaang!”

Gadis perawan ayu itu menyusul. Komala lebih dulu lenyap. Keberadaan keduanya kini menjadi topik pembicaraan Kampung Mekarsari. Pak Saring bertambah pusing. Sebagai kepala adat di sana, ia resah atas peristiwa janggal ini. Dalam tiga minggu, perempuan di wilayah kekuasaannya, hilang tak berbekas.

Ningsih, gadis putus sekolah ini memang menarik. Kulitnya kuning langsat. Bersih. Tak ada jerawat yang mengisi ruang mukanya. Hanya tahi lalat di bagian dagu yang mempermanis parasnya. Tubuhnya tak terlalu gemuk dan terlalu kurus. Sesuai dengan fantasi pemuda kampung tentang imaji perempuan dalam masturbasinya. Tinggi juga standar perempuan. Kalau Ningsih lewat, harum tubuhnya membuat hormon testosteron pemuda kampung bekerja maksimal. Suaranya seksi. Tak heran ia menjadi sinden di kampung. Acara kawinan selalu ramai pemuda. Mereka datang hanya untuk mendengarkan Ningsih menyinden merdu. Tak terbayang suara Ningsih ketika mendesah. Bahkan ketika pakaiannya basah oleh keringat setelah bekerja di ladang, ia justru menaikkan birahi pemuda.

Tapi kini aroma Ningsih menguap. Tak lagi tertangkap hidung pemuda. Suara seksinya juga membias. Tak lagi ada merdunya Ningsih menyinden. Ningsih terakhir kali pamit untuk sholat maghrib di musholla, beberapa ratus meter di sebelah kanan rumahnya. Biasanya, Ningsih kembali setelah Sholat. Tapi malam itu malam Jumat, Ningsih pasti membaca surat Yasin di sana. Kalau malam Jumat, Ningsih kembali setelah Isya’. Jam memukul sembilan, Ningsih belum juga pulang. Orang tuanya gelisah. Mereka menyulut obor dan mendatangi musholla. Sesampainya di sana, musholla sudah gelap. Rumah – rumah di sekitarnya pun. Mereka panik.
Ayah Ningsih berlari kecil mendatangi kediaman Pak Saring. Api di atas obornya mengecil tertiup angin. Ibunya menunggu di musholla, berharap Ningsih masih di sekitar sana. Matanya masih mencari. Hidung juga ia gunakan. Ia hapal dengan bau Ningsih. Ia memanggil nama anaknya berulang kali dengan suara keras. Hatinya juga berulang kali meneriakkan Ningsih. Hasilnya nihil. Nol. Warga kampung yang terusik dengan suara ibu Ningsih terbangun. Rumah – rumah di sekitar musholla mulai menunjukkan cahaya. Satu persatu berkumpul di depan musholla.

“Kenapa Bu Yeyet? Ada apa malam – malam begini?”

“Ningsih belum pulang. Ningsih hilang. Tadi ia pamit sholat maghrib dan mengaji. Sampe sekarang belum pulang. Saya takut, pak. Saya takut dia kenapa – napa”
“Ya udah Ibu Yeyet tenang aja dulu. Mungkin ke rumah temannya? Atau mungkin saja Ningsih sudah pulang lewat jalan lain, ga papasan sama ibu”

Di saat yang bersamaan, ayah Ningsih menceritakan apa yang sedang terjadi. Pak Saring hanya menganggukkan kepala sesekali. Ayah Ningsih tetap terlihat tegar. Walaupun Pak Saring tahu betul watak ayah Ningsih.

“Pak tenang dulu saja di sini. Ini diminum tehnya mumpung masih anget”

Ayah Ningsih menyeruput kencang. Tak peduli panas yang membakar lidahnya. Pak Saring yang dari tadi duduk di depan ayah Ningsih meluruskan lututnya. Ia berdiri. Berjalan perlahan ke arah luar rumahnya. Ayah Ningsih akan mengikuti Pak Saring. Tapi Pak Saring menyuruhnya tetap duduk. Ia menahan bahunya, lalu berjalan ke arah pintu depan dan berhenti di pojok rumahnya. Memukul kentongan lima kali, jeda, memukul lagi lima kali, lalu jeda. Bising.

***

Kecurigaan dilekatkan pada Iman. Pemuda malas ini memang menaruh hati pada Ningsih. Apa lacur, Iman tak memiliki modal apapun selain parasnya yang lumayan. Orang tua Ningsih tak setuju. Iman tak mampu memenangkan hati orang tua Ningsih. Orang tua Ningsih melarang Ningsih menemui Iman. Apalagi di malam Minggu. Iman tak lebih dari segumpal daging yang teronggok di ranjang menurut mereka. Tapi hal itu tak menyurutkan niat Iman untuk berinteraksi dengan Ningsih. Ia bangga benar dengan statusnya sebagai kekasih Ningsih, perempuan idola seluruh kampung.

Ningsih adalah perempuan yang membuatnya takluk. Ibunya saja berani ia bantah jika menyangkut Ningsih. Kadang – kadang uang ibunya dicuri. Hanya untuk membelikan pakaian baru untuk Ningsih. Iman tahu ia disangka terlibat. Iman menyangka pemuda kampung cemburu terhadapnya. Terang saja ia membantah keras. Kalaupun ia membunuh, sasarannya orangtua Ningsih. Bukan Ningsih. Ia begitu menyimpan afeksi begitu dalam kepada Ningsih. Pun sebaliknya.

Pemuda kampung yang semalam ikut mencari Ningsih, kini mendatangi rumah Iman. Sembilan sepuluh orang menggedor pintu. Mereka mencari Iman. Ayah Iman berbohong mengatakan Iman tak ada di rumah, tapi Iman terlanjur keluar rumah. Ia marah. Iman juga sedang galau dengan hilangnya Ningsih. Terlebih harus menghadapi jumlah massa yang tak sedikit. Tangannya mengepal kencang. Urat di tangannya terlihat jelas. Matanya garang. Otot rahangnya bergerak – gerak mengikuti gerakan gigi.

Ia bersitegang dengan pemuda kampung yang mendatanginya. Meminta kejelasan keberadaan Ningsih. Suasana kacau. Kepalan tangan pemimpin pemuda sempat mengenai pelipis Iman. Menghadapi tuduhan tanpa dasar dan alibi yang kuat, Iman lari ke bagian belakang rumahnya dan mengambil kujang. Emosinya meledak. Menghadapi kekuatan eksplosif begini, pemuda kampung memilih mundur.

***

Pak Endi yang kebetulan sedang berada di tengah asetnya mendengar keributan itu. Beubegik yang akan dipasang diletakkan begitu saja. Suara ribut penyebabnya. Pak Endi yang tadinya akan memasang beubegik tambahan akhirnya memilih untuk mendatangi asal suara ribut tersebut. Mandor dan pekerjanya disuruh berjalan duluan di depannya. Takut nanti ada apa – apa.

Begitu sampai di sana, mandor langsung bereaksi melerai pertikaian. Untung saja si mandor berbadan tegap besar. Nyali pemuda ciut. Mereka menurut. Pak Endi yang berjalan agak lambat menghampiri kerumunan tersebut. Orang tua Iman sedikit lega dengan datangnya Pak Endi. Sekaligus segan. Mereka menumpang tinggal di tanah Pak Endi.

“Ada apa ini? Suaranya sampai sawah saya”

“Ini Pak, Ningsih hilang semalam. Iman kan pacarnya. Pasti dia ada hubungannya”

“Hey! Kamu jangan asal nuduh! Mana buktinya?”, Iman mengelak.

“Sudah – sudah. Kalian ini kayak anak kecil aja. Diselesein baik – baik kan bisa. Jangan asal main jotos aja. Iman itu kujangnya disimpen dulu sana. Nanti ada setan lewat saya yang kena”
“Baik Pak Endi”

Iman menuju dapur. Menyimpan kujang orang tuanya.

“Kamu beneran ga tau? Tadi malem kamu ke mana?”
“Saya beneran ga tau Pak Endi. Tadi malem saya membantu bapak menangkap tikus di sawah. Saya tau kalau malam jumat, Ningsih pergi mengaji. Saya ga pernah ganggu dia kalo sedang mengaji”

“Benar Iman mencari tikus, pak?”

“Benar Pak Endi. Tadi malem ia sama saya nyari tikus”

“Yasudah kalo begitu. Iman sini!”

“Baik Pak”, Iman mendekat.

“Saya tanya sekali lagi. Iman kamu tau di mana Ningsih”

“Ga tau Pak. Saya berani sumpah”

“Bohong pak! Pasti dia tau dimana Ningsih”, suara salah seorang pemuda.

“Diam kamu! Saya ga bicara sama kamu! Iman kamu berani sumpah pocong?”

“Berani pak. Saya berani sumpah pocong!”, jawabnya tegas.

Kharisma Pak Endi mampu menenangkan kumpulan pemuda. Mandor sebesar itu saja bertekuk lutut. Tak berani melihat mata Pak Endi langsung.

“Ya sudah kalo begitu. Iman yakin sekali dengan ketidakterlibatannya. Bapaknya juga bilang tadi malem mereka berdua mencari tikus. Ada yang bersama Ningsih tadi malam?”
“Kata Pak Ustadz, Ningsih mengaji setelah sholat maghrib. Setelah itu Pak Ustadz tidak melihat dia lagi”, salah seorang dari kerumunan menjelaskan.

“Oohh. Berarti Ningsih sudah sampai di musholla”

“Iya Pak Endi, waktu sholat maghrib, Ningsih berangkat bareng sama saya. Setelah sholat maghrib, saya pulang duluan”

“Berarti hanya Pak Ustadz yang melihat Ningsih terakhir?”, tanya Pak Endi.

“Setahu kami sih begitu, pak”

“Oh ya sudah. Berarti yang patut dicurigai ya Pak Ustadz itu. Tapi masa iya Pak Ustadz begitu?”
“Tidak, Pak Endi. Pak Ustadz pulang lebih dulu daripada Ningsih. Waktu Pak Ustadz pulang, Ningsih masih melanjutkan mengaji di musholla. Pak Ustadz pulang setelah bubar sholat Isya’”

“Waaah, tambah rumit saja ini. Ada keterangan lagi ga?”, tanya Pak Endi lebih lanjut.

“Orang tua Ningsih bilang kalau beberapa hari sebelum Ningsih hilang, Ningsih ngiri sama Yati”

“Kalau menurut saya, Ningsih dan Komala tergiur dengan cerita Yati. Mereka ikutan cari kerja di kota. Ini semua pasti ujung – ujungnya duit. Jaman sekarang perempuan butuh dandan. Pengen ini pengen itu. Kampung ini ga menyediakannya. Mereka minggat ke kota”

“Iya mungkin saja begitu. Mereka ngiri sama Yati. Yati kan sekarang udah jadi orang. Udah kaya. Dulu dia apa? Makan aja ngutang beras sama saya. Sekarang? Lihat saja kelakuannya. Belanja ke pasar udah kayak mau nyinden. Pake pemerah pipi segala. Terus lidahnya udah berubah. Sekarang tempe ga enak katanya. Ayam melulu kadang sapi.”, pemimpin pemuda sekarang meralat tuduhannya.

“Iya mereka ngiri tuh”, yang lain menimpali

“Ya sudah ayo pada bubar! Siang panas begini malah mau berantem. Bukannya kerja, ini malah ngurusin orang lain. Ayo bubar! Bubar!”

“Begini adik – adik semua, kita tunggu saja nanti hari raya. Palingan mereka juga udah kembali ke sini. Kita lihat saja bawa apa mereka. Ya udah ayo sekarang pulang aja!”,

Pak Endi menutup bicara. Pemuda kampung meminta maaf. Jajang, pemimpin mereka, mewakili. Iman masih dongkol Pelipisnya memang tak mengeluarkan darah. Hanya saja darahnya masih mendidih. Satu persatu mereka bubar. Meninggalkan Iman yang meluap – luap.

***

Pak Endi merupakan seorang yang paling disegani di Kampung Mekarsari. Melebihi kepala adat, Pak Saring. Rumahnya agak menjorok ke dalam kampung. Tak begitu besar memang, halamannya saja yang luas. Halaman itu dipakai untuk menumpuk hasil panen untuk selanjutnya dijual ke kota. Sebagian besar sawah pertanian di kampung, dipunyai Pak Endi. Warga sangat hormat kepadanya. Banyak dari mereka yang hidup dari sawah milik Pak Endi. Ia juga sangat royal. Sering memberikan upah lebih kepada anak buahnya. Anak buahnya belasan. Tak heran ia begitu disegani.

Ningsih juga bekerja di ladang Pak Endi. Ia pulang ketika petang sebelum maghrib. Dan ternyata hari itu adalah hari terakhir Ningsih bekerja. Karena hingga kini, Ningsih tinggal nama dan foto. Fisiknya tak diketahui lagi. Ayah dan Ibunya hanya bisa pasrah. Mereka menyerah mencari kabar anaknya. Mereka sudah rela anaknya diambil kembali oleh tuhan. Padahal belum bisa dipastikan Ningsih sudah tewas apa belum.

Waktu pertikaian berlangsung, Ia, mandor, dan dua orang anak buahnya sedang memasang beubegik. Mencegah sawah di perbatasan kampung itu habis dimakani burung. Sebetulnya hama burung tak begitu mengganggu di kampung ini. Lebih sering belalang atau wereng.
Pak Endi tak seperti majikan yang diceritakan di dalam sinema elektronik. Biasanya yang ditampilkan dalam televisi, tuan tanah itu kejam. Semena – mena terhadap warga sekitar. Anak buahnya didzolimi. Lalu meminjamkan uang kepada orang yang membutuhkan uang cepat dengan bunga yang tidak masuk akal. Istrinya banyak. Tidak, Pak Endi tidak seperti itu. Istrinya hanya satu. Dermawan bukan main.

Pak Endi tak memiliki anak. Meninggal dalam usia balita setahun kemarin. Sakit keras katanya. Sepeninggal anaknya, Pak Endi berusaha giat menjalankan usaha pertaniannya. Hasilnya baru dinikmati setahun terakhir setelah enam tahun berjalan. Kini, Pak Endi menjadi penyedia hasil pertanian terkemuka di kota. Sawah bertambah luas seiring dengan bertambahnya pemasukan. Taraf hidup rakyat juga meningkat karena Pak Endi.

***

Dua pekan lalu Yati pulang ke kampung Mekarsari. Majikannya sedang berlibur ke Singapura. Yati jelas tak diajak. Hanya diberi uang saku lebih untuk bekal pulang. Pekerjaan rumah tangganya libur seminggu. Uang sakunya dibarter dengan segala kemewahan dan kebutuhan keluarganya di kampung.

Bawaannya melimpah. Jari manisnya mengkilat. Leher juga. Bajunya bukan daster longgar lagi. Bhnya juga kini tiap hari ganti. Tak harus menunggu berbau apek. Logatnya juga sedikit berubah. Seperti di sinetron menurut orang – orang. Baru juga tinggal setahun di kota, gayanya sudah selangit. Apa – apa saja dibandingkan dengan kota. Televisilah, teleponlah, bajulah, celanalah, apa saja yang penting terlihat sukses. Yang penting bisa dianggap oleh warga kampung.

Berita kepulangan Yati dengan cepat menyebar ke seluruh kampung. Berita tentang Yati yang sekarang sudah jadi orang punya juga ikutan menyebar. Hal ini juga sampai ke telinga Ningsih dan Komala. Mereka langsung menyambangi gubuk Yati sesaat setelah mereka tahu Yati sudah berada di Kampung Mekarsari.

Ningsih dan Komala memang teman dekat Yati. Mereka teman main karet dan petak umpet sedari dulu. Dari mereka belum menstruasi dan membesar payudaranya serta tumbuh bulu. Yati menceritakan pengalamannya bekerja di kota kepada mereka. Bersama majikan orang kaya. Orang yang lebih kaya daripada Pak Endi. Ditunjukkannya hasil Yati bekerja. Emas imitasi, baju dan celana mahal, dan pakaian dalam yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Dan mereka cemburu. Yati senang melihat mereka cemburu. Yati yang dulu makan harus mengutang kiri kanan kini bisa sumringah. Jumawa.

***

Tiga bulan berselang. Lebaran idul fitri tiba. Yati mudik. Tapi Ningsih dan Komala tidak ada. Orang tua Ningsih dan Komala masih berharap anaknya kembali. Harapan kosong sayangnya. Ningsih dan Komala tak pernah pulang. Yati mengaku tidak tahu menahu dengan keberadaan mereka. Yati tidak mau dikaitkan. Yati tidak mengajak mereka ke kota. Yati hanya pamer.
Di saat keluarga lain bersuka ria dengan datangnya hari raya. Berkumpul. Orang tua Ningsih hanya bisa meratap. Ingin sekali mereka menghujat pencipta-Nya. Hingga saat itu, secuil kabar tentang Ningsih tidak pernah bertambah. Mereka hanya bisa menangis menatap gambar diri Ningsih.

Iman sedikit hilang kesadaran. Semenjak hilangnya Ningsih, Ia sering mengurung diri di kamar. Tak mau makan. Minum hanya segelas kecil. Itu pun dipaksa ibunya. Kejiwaannya bergeser. Ayahnya kini bekerja sendiri. Iman tak lagi membantu. Iman malah diberikan ruangan khusus di belakang rumahnya dan dirantai kakinya. Iman terkadang mengamuk tanpa sebab.
***

Delapan bulan kemudian peristiwa hilangnya Ningsih sudah berganti dengan topik pembicaraan baru. Tentang betapa kaya dan dermawannya Pak Endi. Tanahnya semakin luas saja. Buruhnya tiga kali lipat. Rumahnya dipenuhi kayu jati. Mobilnya kini sedan. Mobil pick up-nya sekarang menjadi kendaraan operasional pengangkut hasil panen. Tak lagi digunakan untuk keperluan sehari – hari. Musholla di kampung juga kini rapi. Infaq dari Pak Endi yang merapikannya.

Ningsih dan Komala memang sudah tiada. Hanya saja sesekali terdengar suara sinden di tengah malam. Malah terkadang suara isak tangis perempuan. Warga tidak tahu darimana suara itu berasal. Hanya sayup – sayup terdengar dari sawah Pak Endi. Warga juga tidak tahu satu hal. Beubegik – beubegik itu sering terlihat muram.
---------

*Beubegik adalah boneka pengusir hama dalam bahasa sunda

[Jogjakarta. 29 Juni 2010. 05.01 PM. Fikri]

Jumat, 02 Juli 2010

Melancholic Bitch - Balada Joni dan Susi

Tulisan ini adalah untuk melunaskan janji untuk menulis tentang Melancholic Bitch. Review ini memang tak sebagus penulis lain. Begitu banyak ulasan yang menunjukkan kualitas album ini. Tulisan ini tak ada apa - apanya jika dikomparasikan dengan yang lain. Coba saja ketik Melancholic Bitch Balada Joni dan Susi pada mesin pencari, maka akan disuguhkan banyak. Tulisan ini hanya untuk menunjukkan betapa cintanya saya dengan Melancholic Bitch seperti halnya betapa cintanya Joni dan Susi.

Saya pertama kali melihat band ini secara langsung di Taman Budaya Yogyakarta. Saat itu saya menunggu Efek Rumah Kaca yang menjadi penutup di sebuah gigs. Efek Rumah Kaca masih lama. Sekitar empat band lagi. Sambil menunggu, saya dan teman saya mencari tukang minuman untuk membeli air mineral dalam kemasan gelas kecil. Ya! Sudah tertebak, airnya dibuang untuk disubstitusi oleh anggur merah.

Saya dan teman saya menenggak anggur merah yang saat itu masih delapan belas ribu di teras di Taman Budaya Yogyakarta. Saat sedang melakukan ritual sebelum menonton music itulah, datang seorang perempuan berparas manis. Manis sekali. Herannya, lawan jenis di sebelahnya tak sebanding. Saya dan teman saya bergunjing. Hahaha. Lawan jenisnya memakai kacamata dengan lensa hampir menutupi muka dengan pinggiran hitam tebal.

“kok mau ya cewenya? Cowonya aneh begitu”, teman saya bertanya.

“pasti cowonya punya sesuatu, nyo”, apologi saya. Karena saya merasa dia jauh lebih keren dibanding saya. Hahaha.

Dan benar. Ketika Efek Rumah Kaca tinggal menunggu satu band lagi, saya dan teman saya menyudahi menganggur. Masuk ke dalam venue. Si lawan jenis yang aneh itu sedang berada di tengah panggung. Merokok dan memegang mikrofon. Dan dia sangat keren! Dia Ugoran Prasad, vokalis yang juga penulis lirik Melancholic Bitch yang juga penulis cerita pendek untuk Kompas. Saat itulah saya merasa saya harus jatuh cinta dengan band ini. Padahal album Anamnesis, sudah mengerak di memori computer.

“tuh kan bener, dia vokalis keren begitu”, teman saya tertawa setelah saya ucapkan kalimat itu.

Album Balada Joni dan Susi memang mantap. Tidak banyak band di Indonesia yang berkonsep seperti ini. Konser promo albumnya di Salihara, Jakarta Selatan, menuai banyak pujian. Sempurna kata teman saya, Priambodo Adi Nugroho. Album ini berisi tentang perjalanan Joni dan Susi. Tokoh yang menurut saya mencerminkan banyak pasangan di Indonesia. Album ini juga membuat saya harus menambah nama Ugoran Prasad ke dalam pelirik kegemaran saya. Setelah Jimmy Multhazam dari The Upstairs dan Cholil dari Efek Rumah Kaca.

1. Prolog

Lagu ini berdurasi hanya satu menit lebih setengah kurang. Sesuai dengan judulnya, lagu ini hanya prolog. Prolog dari Ugoran Prasad, vokalis, untuk mengintrodusikan siapa Joni dan siapa Susi.

Ketika Joni dua satu dan Susi sembilan belas

Hidup sedang bergegas di ruang kelas

Kota - kota menjalar liar dan rumah terkurung dalam kotak gelas

Dingin dan cemas

Namaku Joni

Namamu Susi

Namamu Joni

Namaku Susi

2. Bulan Madu

Bercerita tentang Joni dan Susi yang berbulan madu dalam imajinasi. Venezia, melalui Nepal, Oslo dan Budapest tidak terlewati, Nanking, Rio, dan Lima juga tak terlalui. Mereka berdua terlalu kencang meninggalkan Cape Town. Intro piano yang lambat diakhiri dengan teriakan “tinggalkan Cape Town” cukup melekat di telinga.

3. 7 Hari Menuju Semesta

Lagu ini lagu favorit saya di album ini. Subjektifitas saya, lagu ini merupakan lagu gombal yang sangat amat keren sekali. Hahaha. Drum dan gitar yang enerjik. Intronya bisa menganestesi kepala untuk digoyangkan ke kiri ke kanan sesuai irama. Liriknya jawara. Berisi tentang agenda Joni kepada Susi selama seminggu tujuh hari. Bagian terkeren dari liriknya adalah,

jika aku miskin kau negara

jika aku mati kau kematian lainnya


4. Distopia

Intro keyboard diiringi dengan bass yang mengalir. Lagu ini dinyanyikan berdua oleh Ugoran dan Silir. Liriknya hanya sedikit. Bercerita bagaimana kereta bisa menghantar Joni dan Susi menuju semesta dan Janji Joni dan Susi untuk bersama. Bagian favorit dalam lagu ini adalah tentu saja ketika suara synth bercampur dengan melodi bass yang nakal. Memaksa badan untuk bergerak. Lagu ini lagu mudah dihapal dan satu - satunya lagu yang bisa dinyanyikan bareng.

Bersama - sama kita, bersama - sama selamanya

Bersama - sama kita, bersama, bersama.

5. Mars Penyembah Berhala

Lagu ini merupakan lagu yang paling ditunggu ketika Melancholic Bitch di atas pentas. Lagu ini lagu yang paling anthemik dalam album ini. Menurut saya, lagu ini bercerita tentang bagaimana televisi membunuh imajinasi. Bagaimana televisi menutupi realita. Bagaimana sinema elektronik menipu. Lagu yang sangat bertenaga. Dentuman drum. Cocok didengarkan jika alcohol sudah bereaksi di dalam kepala. Hahaha. Bagian refrain yang enak untuk diteriakkan secara repetisi.

Siapa yang butuhkan imajinasi, jika kita sudah punya televise

Pada bagian akhirnya, refrain diulang berkali - kali diiringi oleh semacam dakwah yang pepat dalam empat belas inchi.


6. Nasihat yang Baik

Lagu pelan. Petikan gitar dan keyboard yang mengalun lambat. Lagu ini semacam lullaby Joni kepada Susi. Susi terlalu lelah berkontemplasi, maka tidurlah.

7. Propaganda Dinding

Lagu yang didominasi suara keyboard. Drum dan keyboard yang konsisten. Lirik yang ironis dan miris. Susi lapar. Joni mencuri roti untuk Susi. Sementara di luar sana, supermarket tak pernah sepi. Wow! Lirik yang jenius. Semoga engkau masuk surga Ugoran!

Supermarket dan busung lapar adu lari

Aku tak gila ketika didengarnya dinding berbisik

pelan berbisik: curilah roti.

Takkan kubiarkan kau mati.


8. Apel Adam

Minimalis. Mirip narasi kepada Joni yang tak bisa mencuri apel dan roti untuk Susi yang lapar. Joni ditangkap. Joni dikurung.

Jangan libatkan polisi di lagu ini

Jangan libatkan polisi di cinta ini



Masih ada empat lagu lagi, jadi silahkan cari tahu sendiri. Dan jangan salahkan saya, jika setiap bangun tidur harus menyetel lagu mars penyembah berhala atau 7 hari menuju semesta. Album ini sangat adiktif. Sangat. Berhati - hatilah. Sudah beberapa bulan menjadi penghuni tetap daftar main aplikasi pemutar mp3 saya. Berhati - hatilah sungguh!

Jadi meminjam istilah majalah Trax, mendengarkan album ini sekilas seperti membaca realita Indonesia lewat lagu.

Absurd Ini Totalitas

Kejadian absurd sepertinya memang menjadi garis hidup gw. Setelah cerita tentang rambut gondrong, bapak kost yang laknat, tetangga kamar kost yang aneh, gw akan bercerita tentang kejadian absurd di kost gw yang terakhir. Gw masih tinggal di kost tersebut setelah pindah dua kali. Yang pertama karena diusir bapak kost dan yang kedua karena teman sekamar yang terlalu baik. Nanti akan gw ceritakan teman sekamar yang terlalu baik ini.

Yang akan gw ceritakan sekarang adalah cerita kesurupan. Entah kesurupannya hanya fiktif atau fakta. Tapi cerita ini fakta. Jadi kejadian kesurupan itu sekitar setengah sepuluh malam medio 2008. Terdengar bunyi piring tersenggol.

“Krompyaaangg!!”

Gw ga peduli. Masih saja melanjutkan aktivitas gw di kamar.

“Kyaaaa. Arggghhh!”

Agak sedikit merasa janggal. Tapi gw berpikir mungkin piring yang tersenggol tadi jatuh menimpa kaki yang menyenggol. Gw masih ga beranjak mencari tau.

“Tolooonggg!”

Gw langsung ke luar kamar melihat apa yang terjadi. Ternyata tempat kejadian perkara sudah ramai.

“Si Yani kesurupan, si Yani kesurupaaaan!”

Yani adalah penghuni kost ini juga. Iya kost gw kost campur. Pria dan wanita bisa tinggal di sini. Hal itulah yang membuat gw pindah ke kost ini. Haha bukan deng. Gw pindah karena dua teman gw ngekost di sini dan kost ini tak ada peraturan jam malam, teman menginap, dan lain - lainnya. Peraturan kost ini hanya satu, nunggak ga boleh lebih dari dua bulan. Hahaha.

Terus gw liat ke dalam kamarnya. Si Yani sedang terbaring memakai baju tidur yang transparan. Bra berwarna gelap jelas terlihat dibalik baju tidur semacam lingerie transparan. Belahan dada ke mana - mana dan celana dalam terumbar rapi. Seisi kost panik sekaligus diam. Diam melihat Yani yang kesurupan. Bukan karena bingung mesti ngapain. Diam karena pertunjukkan lingerie belahan dada dan celana dalam terlalu sayang untuk dilewatkan. Haha.

Mbak Tari, penghuni kost ini juga, langsung saja memakai mukena kembali. Tadinya dia sedang sholat ketika peristiwa agak naas itu terjadi. Dia yang teriak meminta tolong. Dia kewalahan menghadapi Yani. Tapi apa daya, yang diminta tolong malah tergiur dengan aurat.

Dan munculah Mas Gatot. Mas Gatot adalah orang yang dituakan di kost. Dia ini sangat amat mumpuni, ciamik, lihai, juara nomer satu, untuk masalah selangkang. Lalu apa hubungannya dengan orang kesurupan? Err, si Yani adalah satu dari (seinget gw sih) enam teman kasur Mas Gatot.

“Panggil orang pinter! Panggil orang pinter!”, Mas Gatot berteriak memerintah.

“Oke mas, aku berangkat”, salah satu penghuni kost menyanggupi, sesaat seperti adegan sinema elektronik.

Sambil menunggu kedatangan orang pintar, seisi kost berusaha mengeluarkan energy yang masuk ke Yani. Dan kejadian absurd ini akan segera dimulai.

Kost gw ini termasuk kost laknat. Hahaha. Masing - masing KTP anak kost, menyebutkan agama mayoritas di dalamnya. Tapi yang melakukan ibadah bisa dihitung dengan jari. Bukan dengan jari jemari. Iya hanya seorang. Hahaha.

“Ayo ngaji, siapa tau ngaruh!“

“Siapa yang bisa ngaji?“, pertanyaan yang sia - sia karena jawabannya sudah diketahui sebelum pertanyaan ini terlontar.

Dan akhirnya, dari kost ini terdengar lantunan ayat - ayat Al Quran. Tapi secara digital! Mas Gatot mencari mp3 ngaji di tumpukan piringan kompaknya. Setelah ketemu, knop speaker aktif yang tercolok langsung dengan computer dipasang maksimum. Hahaha. Si Yani tetap saja berteriak. Dengan itu gw dapet pelajaran moral ngaji digital tak direkomendasikan untuk menyembuhkan kesurupan.

Belum, keabsurdan ini belum selesai. Datanglah orang pintar yang dipanggil. Ternyata yang datang adalah sekomplotan anak masjid. Salah satunya adalah anak kampus gw. Okay, mereka langsung merangsek masuk ke dalam kamar perkara. Begitu melihat si Yani, mereka terperangah.

“Astagfirullahaldzim! Ana ga kuat ngeliatnya. Mas, antum - antum ada yang punya sarung buat nutupin auratnya?”

Temen - temen kost gw langsung menjauh. Berkumpul di depan kamar Mas Gatot.

“Gila! Yang imannya kuat aja ngeliat Yani kelojotan apalagi kita. Liat aja, udah pake baju transparan gitu, belahan dada ama kancut kemana - mana”

Sertamerta diamini oleh yang lain, “amiiiiiinnn”

Yani masih berontak, salah satu dari anak masjid menghubungi rekannya. Mereka tak tahan syahwat karena akhwat. Mereka memanggil teman sejawatnya yang lawan jenis. Agar lebih leluasa dalam mekanisme pengeluaran energy gaib dari tubuh Yani. Beberapa lama kemudian, datang lagi empat muslimahwati. Mereka langsung meminta rambut si Yani dikuncir. Katanya kalau rambut tergerai setan akan susah keluar dari raga Yani. Absurd. Terpaksa kuncir rambut gw serahkan. Ergh!

Mereka mengaji dengan suara lantang dan berusaha mengeluarkan roh yang katanya kuntilanak di depan kost.

Tiba - tiba, Mas Gatot memanggil salah satu dari kami. Mukanya gusar. Keringat menetes deras. Yang dipanggil langsung saja menghampiri.

“Hey! Sini!”

Mas Gatot berbicara terengah sambil mengeluarkan selembar limapuluh ribuan dari dalam dompetnya. Gw pikir duit itu bakal semacam infaq kepada komplotan remaja masjid tersebut. Dalam hati gw berpikir dermawan banget ini orang. Baik hati walau kelakuan agak minus. Tapi kalimat selanjutnya tak pernah terbayang di otak gw.

“Aku capek banget megangin Yani. Badanku pegel semua. Sejam megangin. Dia berontak terus mukul - mukulin aku. Nih, duit! Sana beli anggur. Aku mau minum!”

Gw ngakak di tempat.

Yani akhirnya bisa reda. Ia tak histeris lagi. Empat muslimahwati tadi pamit. Muslimahwan belum. Mereka mengumpulkan anak kost di depan bangunan kost.. Kita berkumpul di atas tikar yang sudah tergelar tidak rapi di halaman parkir.

“Saya lihat di sini auranya gelap. Terus hutan di depan sana auranya juga gelap, jadi hutan dan kost ini sama auranya. Di sini ada yang rajin sholat? Sholat terus yang rajin. Peristiwa begitu akan sering terjadi jika iman kita kuat. Kalau bisa, kost ini dingajiin seminggu penuh setelah ini. Ingat ya! Seminggu penuh dingajiin! Blablabla”

Nasehat - nasehat spiritual masih saja terdengar selama setengah jam. Yang lain manggut - manggut entah karena apa.

Setelah anak - anak masjid berpamitan dan bersalaman memohon diri, pesta anggur dimulai. Absurd sekali memang! Kita minum sampai jam empat pagi, karena pada takut tidur setelah kejadian tersebut. Lalu, nasehat spiritual selama setengah jam menyublim di udara. Anjuran mengaji selama satu minggu penuh untuk memagari kost dari kekuatan gaib bertendensi negatif berkonversi dengan minum anggur seminggu penuh. Anak - anak kost pada takut tidur di bawah jam duabelas malam karena alasan yang sama.

Sudah berakhir? Belum! Ini belum berakhir. Setelah pesta anggur setelah mendengarkan saran spiritual tadi, Mas Gatot menghilang. Pun Yani. Ternyata mereka berdua berada di kamar Yani. Setelah tidak terdistorsi dengan roh, hantu, atau apalah, Yani bertransformasi kembali menjadi teman tidur Mas Gatot. Hahahahahaha.
-----------------

*sekarang Yani sudah menikah dan hidup bahagia tanpa kuntilanak lagi.

[Jogjakarta 10 Mei 2010. 10:48 AM. fikri]

Piala Dunia Afrika Selatan 2010 Semakin Membuat Orang Indonesia Merasa Piawai Bermain Sepakbola




“Goblooook! Harusnya oper ke kanan!”

“Dasar pelatih bego, masa si Riquelme ga dipanggil?”

“Halaahhh begooo! Gawang segede gitu malah ngincer tiangnya”

“Toloooool! Udah 1 on 1 sama kiper masih melenceng juga”

“Goblook banget jadi orang! Pengen hattrick tapi penalty ga masuk. Toloool!”

“Ah wasitnya tolol, kayak begitu ga offside?”

“Tuh kan wasitnya goblok, dari tadi ga ngasih kartu”

“Pelatih bego! Masukin Fabregas kalo mau menang banyak!”

“Hih idiot! Malah gocek - gocek, bukannya dicrossing!”

“Halaaahh tendangannya kayak Ponaryo Astaman”

“Pemain kayak begitu cocoknya main di Persija”

“Ini pemain malah dandanin rambut, bukannya dandanin skillnya dulu”

“Itu atas kosooong! Oper ke sana begoooo!”

“Kiper kayak begini kok dimaenin Fabio Capello? Mendingan David James kemana - mana deh”

“Prancis maennya jelek banget! Pokoknya setelah ga ada Zidane mereka jadi bodoh”

“Iya ya bola Jabulani emang aneh. Tendangannya bisa kayak gitu”

“Pemain kayak dia sih cocoknya jadi penghangat bangku cadangan”

“Masa kaptennya Mascherano? Ini pelatih tolol banget sih?”

“Ya ampuuun! Blanco masih main?”

“Veron? Ga salah tuh Maradona?”

“Korea Utara maen bola apa latihan militer sih?”

“Begooooooo!”

“Tolooooool!”

“Gobloooook!”

——————–

*mencuri dengar dari orang sekitar. Saya tidak hipokrit, saya termasuk walau tak melulu

[Jogjakarta. 23 Juni 2010. 11:00 AM. fikri]

Jumat, 25 Juni 2010

Hari Minggu yang Terdepresiasi


Ketika masih berseragam enam hari dan bercelana merah, hari Minggu adalah hari keren. Saat – saat semua kartun eksis. Semua kartun banci tampil. Bukan hari minggu rasanya jika tak menonton Doraemon. Kartun kucing robot berpengisi suara Nurhasanah, yang terdengar seperti oom – oom senang. Haha. Bukan, bukan Cuma kartun yang membuat hari Minggu selalu ditunggu. Rumah saya pun ramai dikunjungi rekan sepantaran. Main Nintendo dan Sega. Dengan segala macam aktivitas seperti pertukaran kaset dan rebutan tongkat kesenangan, joystick. Ada fakta yang menarik, jika kaset Nintendo atau Sega ngadat, cara mengatasinya sama se-Indonesia. Ditiup. Hahaha.


Bukan, bukan main dengan konsol saja yang membuat hari minggu ditunggu. Hari Minggu adalah hari ke pasar tradisional sedunia. Menemani Mama belanja ke pasar dan membawakan keranjang belanja. Membeli mainan baru di pasar, adalah sesuatu yang sangat mantap. Tak ada yang lebih mantap dari hal tersebut. Bukan, bukan karena saya dapat mainan baru dan harus membawa keranjang belanja yang membuat hari Minggu mantap. Hari minggu adalah jadwal Papa saya masak! Ya Papa saya jago masak. Gado – gado, udang asam manis, mie goreng, sebut apa sajalah, dan Papa siap mengkonversi resep menjadi makanan. Hehe.


Bukan, bukan karena jadwal Papa masak yang membuat hari Minggu begitu ditunggu. Hari Minggu adalah jadwal keluarga berkumpul. Pergi memancing bersama keluarga itu rock n roll sekali! Setelah berkumpul makan masakan Papa, biasanya kami sekeluarga pergi memancing sampai sore. Walaupun ikan yang didapat hanya Mujair sebesar jari, tapi kesenangannya berlimpah. Ikan minimalis, efek maksimal.


Kemudian beranjak ke sekolah menengah pertama, kesenangan akan hari Minggu mulai berkurang. Selain produksi hormon yang mulai berlebih, kartun juga mulai sedikit terdistraksi. Saat – saat akan menuju umur tujuhbelas, saat akan memasuki fase puber, membuat kartun terlihat tak keren lagi. Tak dewasa. Nintendo dan Sega tergantikan oleh Playstation. Aktivitas meniup kaset rusak, rebutan joystick, barter kaset, mulai menguap. Rekan – rekan yang berkumpul menyublim. Berganti dengan diskusi seminar bagaimana membuat motor menjadi lebih lesat atau terlihat indah. Pasar tradisional terdengar sangat tak mantap. Becek dan menjijikan. Keranjang belanja Mama terlihat sangat berat. Papa juga sudah mengganti jadwalnya. Tak ada lagi gado – gado dan udang asam manis. Makanan beli dari luar rumah terhidang di meja makan. Efektivitas dan efisiensi alibinya. Kolam pemancingan mulai jarang didatangi.


Suara pun sudah berubah, jakun menyembul di leher. Saya sudah mutasi ke ibukota. Tak lagi di Bontang. Hari Minggu adalah hari istirahat dari tugas LKS. Sekolah Menengah Atas Negeri 28 yang katanya adalah unggulan nasional plus – plus (ini serius, saya pernah membaca label tambahan seperti itu) sangat menyiksa. LKS yang tak pernah berhenti meminta untuk dikerjakan. Hari Minggu adalah hari mencuci seragam sekolah dan baju lainnya. Hari Minggu adalah hari main Counter Strike. Titik. Pasar adalah tempat bertemunya pembeli dan penjual. Selamat tinggal masakan Papa. Kolam pemancingan resmi kehilangan pengunjung tetapnya.



Kini tak lagi berseragam. Tak lagi ada pasar tradisional. Tak ada lagi masakan Papa. Tak ada lagi kumpul keluarga. Tak ada lagi Nintendo dan Sega. Tak ada lagi hari Minggu.

Rabu, 09 Juni 2010

Smurf!


Okay, sebelumnya gw peringatkan tulisan ini mungkin tulisan ter-cheesy dan ternorak yang pernah gw buat. Tapi apapun reaksi dan respon lo setelah membaca ini gw ga peduli. Sama sekali ga peduli. Sebaiknya lo jangan nerusin baca jika ga sesuai dengan ekspektasi lo. Mungkin dalam hati lo akan berkomentar kencang “ini fikri bukan sih?”, iya ini fikri, dalam versi afeksi membuncah.

Tepat sebulan yang lalu adalah tujuh hari dari pertemuan tak virtual. Namanya Gitaditya Witono. Gw kenal dengannya lewat sebuah situs blog bersama. Ya kenal secara digital. Lalu kotak masuk dalam situs jejaring sosial masa kini bertambah satu pesan. Ia mau ke Jogja dan ingin bertemu dengan para pengguna situs blog dalam kawasan Jogja dan sekitarnya bersama tadi. Kopi darat. Mungkin itu hanya alibinya untuk bertemu gw. Dia sudah memiliki ketertarikan ketika melihat halaman profil gw. Hahaha. Agar mempermudah komunikasi, ya gw beri saja username aplikasi obrol elektronik.

Obrol elektronik itu awal interaksi dua arah gw dan Gita. Suasana yang kaku ketika itu. Tapi, entah kenapa gw merasa “klik” dengannya. Ada kabel imajiner yang membuat gw merasa tersambung secara langsung. Keesokan harinya ia sudah berada di kota yang sama dengan gw. Untuk rekreasi dan menghilang alibinya.


Pertemuan secara riil terjadi di sebuah Café di bilangan jalan kaliurang. Coffee Break. “Gita” katanya mantap. Okay, sampai situ belum ada aliran elektrik. Hehe. Tapi dari awal percakapan digital yang berlanjut pada konversasi analog, gw merasa derajat relasi gw dan Gita bukan sekedar teman dunia maya. Lebih dari itu. Dan benar, di hari ketiga ia di Jogja, ada reaksi kimia adhesi. Atau reaksi magnet berbeda polar. Atau apa sajalah selama itu tarik – menarik. Tidak perlu kertas lakmus untuk menentukan asam atau basa. Cukup kami yang bicara. Hehehe. Lalu voila! Halaman pertama dari buku afeksi gw, akhirnya terbit juga. Semoga tidak ada sekuelnya, hanya babnya saja yang banyak. Hehe.


Selera musik kami agak berbeda. Padahal, music adalah salah satu parameter gw dalam mencari lawan jenis. Yah anggap saja semacam kriteria. Agak males juga, ketika lo deketin lawan jenis, tetapi selera musiknya berseberangan dengan lo. Misalnya ketika lo sedang pedekate ke rumahnya, ia memasang poster Charlie van houten atau Andhika Kangen Band di tembok kamarnya. Mungkin gw ga akan pedekate, Cuma pura – pura nanya alamat. Hahaha. Tapi dalam pelajaran SD, jika semua musik adalah semesta, maka musik kegemaran gw adalah himpunan A dan selera musik Gita adalah himpunan B. Himpunan A dan himpunan B memiliki irisan yang terintegrasi. Sumpah bahasa gw agak kacau. Bodo amat. Hahaha. Dan irisan itulah yang membuat gw dan Gita terkoneksi. Hehehe. Dia suka Mew! Dia Frengers! Semoga dia balik ke rumah untuk natal. Hahaha.


Mendapatkan pacar adalah sesuatu yang aneh. Sama seperti ketika gw sedang menulis. Saat beberapa batang rokok sudah dibakar, asbak sudah penuh, tetapi ms word masih saja berwarna putih. Atau sudah ada tulisan namun ketika dibaca ulang kok rasanya ga plong. Begitu lagi berak di kamar mandi lalu berada di depan layar pepat empat belas inci tiba – tiba menulis jadi lancar. Dan lo harus tau, ini adalah tulisan ketiga gw setelah sebelumnya dua kali mengulang dan masih tidak sreg. Dan cukup satu batang rokok. Kali ini gw seperti sedang naik mobil di jalan bebas hambatan. Kurang melesat? Okay, gw seperti naik mobil sport dua pintu keluaran pabrik Italy terkemuka di jalan bebas hambatan ketika hari raya idul fitri. Hahaha.


Iya analoginya hampir sama dengan mendapatkan pacar. Ketika lo udah berusaha sekuat mungkin untuk berusaha mencari pacar, pedekate dengan durasi yang memakan waktu tak sedikit kanan kiri atas bawah tua muda depan belakang, tak berhasil juga. Lo akan pasrah dengan keadaan naas itu. Sama seperti gw. Gw udah tidak berfikir untuk mencari balasan afeksi dari lawan jenis. Kalau dalam siklus parabola, gw sudah melewati titik optimum dan berada di fase disakselerasi. Penurunan drastis. Gw tidak berfikir untuk mendapatkan klimak lagi. Gita datang ketika gw merepetisi siklus itu. Di saat yang tidak terduga, seperti lagu Puresaturday – nyala, kali ini cukup tujuh hari. Dan dengan tujuh hari itu cukup untuk membawa kami menuju semesta.


Terlalu banyak hal yang menyenangkan, menyenangkan lahir batin hahaha, selama sebulan ini. Menonton gigs Efek Rumah Kaca, yang baru kali itu gw nikmati tanpa ada rasa ingin menggaruk tanah. Berganti dengan ingin menyelipkan jari diantara jemarinya dan tak ingin dilepas. Lalu bertingkah seperti usia belasan dan rekreasi ke dunia fantasi. Serasa dunia hanya fantasi kami berdua. Tak peduli yang lain. Lalu kota hujan dengan segala hewan liar dan air terjunnya. Itu dystopia. Bukan utopia. Tapi yinyang. Menyenangkan tak melulu senyum dan tawa. Bisa juga galau dan emosi negative. Masalah fundamental dalam kartu identitas mulai berbuat ulah. Masalah utama negeri ini juga ikut mengambil porsi. Namun, gw akan berusaha maksimum. Tidak akan angkat bendera putih untuk hal seremeh itu. Hehe.


Namanya Gitaditya Witono. Dan kami sudah melewati bulan pertama! Smurf!

Hahaha sudah gw bilang di awal paragraph kan?

------------------------------------------
7 hari menuju semesta - melancholic bitch


Senin sedang cerah, ijinkanlah, kurayu dirimu : lukai aku, belah dadaku, makan jantungku, renggut hatiku dalam suka atau duka, kaya atau papa, sampai kematian memisahkan; memisah jiwa raga kita.

Selasa, kau dan aku, jika waktu berpihak padaku, ijinkanlah, kumelukaimu. Ijinkanlah kupetakan tubuhmu, dalam suka atau duka, kaya atau papa sampai kematian memisahkan membelah jiwa raga kita

Rabu, langit kelabu, tanpa ragu-ragu, perintahkan padaku, rebut segalanya untukmu dan seperti kau tahu: sgalanya adalah seluruhnya.

Katakanlah jika aku Israel kau Palestina; jika aku Amerika, kau seluruh dunia; jika aku miskin kau negara; jika aku mati kau kematian lainnya.

Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu pepatkan seluruh semesta. Jika kau menginginkannya. Pepatkan seluruh sisi-sisinya.


[Jogjakarta. 9 Juni 2010. 02:32 AM. fikri]

Minggu, 06 Juni 2010

Hanya Kepala Radio

Lelaki, rambut bagian depan mulai menipis, usia paruh baya, berjalan menuju bathtub. Melepas perlahan piyama.


Di sebuah apartemen, grup band bermusik. Gitaris memulai kocokan intro. C ke D# ke D ke F. Empat kali diulang. Vokalis mendekati mikrofon.


Lelaki rambut tipis rebah dalam bathtub.


Masuk ke verse.


Can't get the stink off/
He's been hanging round for days/

Lelaki paruh baya telah selesai berendam. Berbusana jas coklat rapi. Klimis. Berjalan di antara gedung - gedung apartemen. Wajahnya sesekali gelap, tertutup bayangan pepohonan.


Vokalis meneruskan verse. Si jenius ini sudah mulai bertingkah aneh sambil memegang batang mikrofon.



Comes like a comet
Suckered you but not your friends





Lelaki paruh baya menyeberangi jalan antarblok.


One day he'll get to you
And teach you how to be a holy cow

Masuk ke bagian bridge, A G#, G, F#, F dibiarkan terdistorsi. Lalu reff.


You do it to yourself, you do
and that's what really hurts

Lelaki rambut tipis tadi berhenti di depan sebuah apartemen. Pelan - pelan ia jongkok. Tidur menyamping dengan posisi tangan kanan lurus tak terlipat di bawah kepalanya. Seorang pejalan kaki rupawan tak melihat, tersandung tubuh tersebut.


Reff masih berlanjut.


You do it to yourself, just you
you and no-one else
You do it to yourself
You do it to yourself

Si ahli suara melangkah ke jendela tidak berbalkon. Verse bagian dua.



Don't get my sympathy
Hanging out the 15th floor





"Jesus I'm sorry. I didn't see you down there Are you okay?", pejalan kaki menanyakan keadaan lelaki paruh baya.


"Yes", jawabnya.


Vokalis meneruskan verse bagian dua di jendela, menatap ke bawah. Korden tertiup angin di kiri dan kanannya.


Changed the locks three times
He still comes reeling through the door


"What happened, did you fall?", pejalan kaki rupawan meneruskan rasa penasarannya.


"No, I'm fine. Please leave me alone", lelaki paruh baya menjawab ketus. Pejalan kaki rupawan menekuk lutut di sebelahnya.


"You've been drinking"


"I haven't been drinking"


"Why are you lying in the middle of the pavement? You could have broken my neck! Look what's wrong?", pejalan kaki rupawan mulai gusar. Berdiri lagi.


Reff. Vokalis mendekati mikrofon. Memejamkan mata. Bergerak seperti sendi - sendi tubuhnya tak terkendali. Menggelinjang. Layaknya orang menderita Parkinson.


You do it to yourself, you do
and that's what really hurts

"Look what's wrong? Here let me help you up", pejalan kaki rupawan menekuk lutut lagi. Mencoba membantu lelaki paruh baya berdiri.


"No! Don't touch me!", lelaki paruh baya emosi.


Di ruangan apartemen tadi, semua menggila. Gitaris menyiksa gitarnya. Bassist mencabik keras bassnya. Drummer menghantam kejam drumnya.


Trotoar mulai ramai. Tertarik dengan sosok lelaki-paruh-baya-tidur-menyamping-di-tengah-trotoar.


"What's the matter with him? Has he fallen?"


"No. He hasn't fallen"


Vokalis seperti kesurupan. Melenguh di depan mikrofon, lalu bertingkah tak terkontrol di belakang jendela.


Lelaki paruh baya dikerubungi. Satu persatu orang mulai berkumpul di sekelilingnya.


"Is he hurt?"


No. Please, all of you, leave me alone


Vokalis semakin menggila. Tangan kiri dan kanan bergantian atas dan bawah. Kepala bergeleng - geleng. Di belakangnya, gitaris dua hanya diam dan menatap ke bawah.


"He must be mad"


"I'm not mad. Just leave me alone", lelaki paruh baya memerintah.


Bagian solo gitar. Si gitaris melakukan tugasnya.


"Why are you lying down?"


"Why won't you tell me what's wrong?"


"Look I can't tell you. It wouldn't be right"


"He must be mad" kata - kata itu terulang lagi.


"Oh, look officer!", Seorang polisi datang ke tempat kejadian perkara. Memarkir motornya. Melepas helmnya. Menyeberang ke arah kerumunan. Salah seorang menyadari kedatangannya.


"Officer!", semua memanggil.


"Are you alright?" tanya polisi itu. Berjongkok di depannya persis.


"I'm fine. Please, will you just let me be here?"


"I'm afraid I can't let you do that sir"


Di beberapa tingkat atasnya, reff lagi. Vokalis kembali memegang batang mikrofon.



You do it to yourself, you do
and that's what really hurts is





"Don't touch me!", lelaki paruh baya berteriak marah ketika petugas polisi mencoba menyentuhnya.


Kali ini mikrofon dilepas. Mulutnya hampir menempel di sana. Meneruskan reff.


You do it to yourself, just you
you and no-one else


"Just tell me why you're lying here! Tell me"


"You don't want to know. Please believe me"


You don't think there's any point right? What, that we're all going to die? Is that it? Is that why you're lying here?


Si vokalis kembali menggila. Hanya kali ini bedanya derajatnya bertambah. Makin tak terkendali. Bergerak ke sana kemari. Gitaris memakai kord balok. Menggeser jarinya sesuai tempo ketukan drum ke arah pick up gitar.


"No"


"Tell us! Tell us for Christ's sake!", mendapat jawaban begitu, petugas polisi kesal bukan main. Ia sangat penasaran apa yang membuat lelaki paruh baya tertidur, atau lebih tepatnya menidurkan diri di tengah trotoar di depan apartemen. Petugas polisi tidak sendirian. Ia penasaran bersama kumpulan orang yang mengerubungi lelaki paruh baya.


"You want to know why I'm lying here?"


"Yes!", pejalan kaki rupawan dongkol maksimum.


"You really want to know? I'll tell you. I'll tell why I'm lying here, but God forgive me and God help us all because you don't know what you ask of me"


"Tell us!", teriak pejalan kaki rupawan di depan muka lelaki paruh baya.


Tiga personel memantau dari jendela. Drummer menyusul mereka. Mereka hanya mampu membaca jawaban penasaran kerumunan tersebut dengan melihat gerakan bibir lelaki setengah baya dari jendela apartemen di atas tempat kejadian perkara. Beberapa tingkat di atasnya. Gerakan bibir itu terasa seperti gerakan lambat. Slow motion.


Kemudian kerumunan tadi berkonversi menjadi trotoar hidup. Semua tertidur di tengah trotoar setelah mendapatkan jawaban dari lelaki setengah baya. Lagu berhenti.


--------------------------------------------------------------


*nama vokalisnya adalah Thom York.

[Jogjakarta. 6 Juni 2010. 10:02 PM. Fikri]

Jumat, 04 Juni 2010

Aku Selalu Suka Sehabis Hujan di Bulan Juni. Di Bulan Juni

Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu

Sapardi Djoko Damono

**

Dan kamu menari di bawah hujan Bulan Juni. Diam. Loncat. Menadah. Diam. Tersenyum.
“Hujan lebih cepat”, katamu padaku, datar. Aku senyum mengiyakan.
“Maaf, tulisan ini jelek, lima menit jadi”, kataku kepadamu sambil membuka payung.

**

Bukan bukan bukan begitu. Tutup payungmu. Kamu takut basah? Ayolah! Pada hujan pasrah. Titik rintik. Rintik bisik. Meresap ke kulit ari. Menyesat ke hati. Memang sunyi. Kamu tahu? Itu isyarat rindu.

**
Rindu rindu rindu yang kau rasakan. Bertubi tubi tubi kau berikan. Bertahan satu Fikri. Bertahan satu ef I ka er i.

=))
--------------------------------------
*emang lo aja yang bisa ngepost? Haha.

[Jogjakarta dan Jakarta. 3 Juni 2010. Petang. JS]

Senin, 31 Mei 2010

Klenik Mistik


Percaya hal yang klenik, mistik, atau apalah yang penting membuat rating televisi naik? Hmm, sebenernya gw juga ga begitu percaya. Tapi apa boleh buat terlalu banyak hal yang irasional tak terdefinisi. Lagipula sekarang mereka sedang populer. Banci tampil. Spanduk bioskop isinya mereka semua. Hahaha.

Bokap gw memutuskan transmigrasi dari Jakarta menuju Bontang, Kalimantan Timur, tahun 1982. Bisa ngebayangin seperti apa Pulau Kalimantan pada tahun tersebut? Hahaha. Ya, Ia pindah ke sana untuk tujuan karir.

Tahun 1983, bokap menempati rumah dinas. Beserta istrinya yang diajak pindah. Ada kejadian lucu ketika nyokap sampai di Balikpapan.

“Mau kemana, Bu?”, Tanya orang di Bandar udara.

“Ke Bontang, Pak. Ikut suami saya”, nyokap mengeksplanasi.

“Wah ke Bontang ya? Hati – hati di sana banyak monyet segede orang”, yang dianggap nyokap sebagai kelakar mencoba akrab. Begitu sampai di Bontang, ternyata memang monyet segede orang dan orang segede monyet. Oiya satu lagi! Babi segede sapi. Ini beneran.

Gw belum dicetak waktu itu. Masih encer. Hahaha. Kompleks rumah dinas dulunya merupakan hutan. Kemudian dijadikan kerajaan lengkap dengan fasilitas pendukung. Beberapa bulan bokap dan nyokap tinggal di sana belum ada kejadian apa – apa. Masih normal pada umumnya.

Lalu kejadian aneh mulai muncul. Aktivitas yang tak dapat dilogikakan.

Pada suatu hari, bokap mendapati mangga sebuah tergeletak begitu saja di depan pintu depan rumah. Tersenggol nyokap pikirnya. Lalu dibiarkan lalu. Ternyata setelah itu, banyak barang dan benda rumah yang pindah dari tempat asalnya. Input dan outputnya berbeda. Pulpen tiba – tiba di kamar mandi. Tas kerja tiba – tiba di dapur. Polstergeist syndrome. Bokap udah merasa ada sesuatu yang ga beres.

Di hari lain aktivitas tak terlogikakan semakin menjadi. Semakin eksis. Kenyamanan semakin didambakan keluarga ini. Hahaha apa sih. Pagi itu nyokap sedang masak untuk sarapan. Bokap sedang menyetrika baju kerja. Dan tiba – tiba kamar mandi pintunya terkunci. Suara orang sedang mandi terdengar kencang. Lengkap dengan suara guyuran air dan tak lupa siulannya. Gw belum dicetak waktu itu, masih encer, ini untuk menegaskan sekali lagi. Setelah kira – kira limabelas menit, pintu terbuka dan kosong. Entah siapa yang mandi.

Bokap yang emang mewarisi gw sifat absurd, kalau pulang ke rumah diawali dengan “assalamualaikum, hantu”. Otaknya mungkin sudah sedikit geser. Hahaha. Kejadian polstergeist semakin sering. Temen – temen bokap berkunjung ke rumah. Penasaran.

“Mana katanya ada hantunya? Ini aman begini kok”

“Liat aja ntar”

Ketika mereka pulang. Kendaraan – kendaraan mereka kempes. Ban serep tak berguna. Karena yang kempes semua ban. Hahaha. Akhirnya mereka mengakui keangkeran rumah gw.

Permadani terbang adalah mitos di dataran Arab. Lain lagi dengan Bontang. Bokap dan nyokap yang sedang tertidur pulas terpaksa bangun. Kenapa? Karena kasurnya melayang! Kasur melayang! We te ef! Bokap panik. Tapi bukan di disko. Maaf sedikit lelucon tak lucu. Hehe. Ayat kursi menjadi idola masa itu. Hahaha.

Belum lagi ketika bokap dan nyokap sedang bersantai di ruang tengah. Sedang bercengkerama atau mungkin sedang mencetak gw, hahaha. Ada suara degup jantung di jendela. Udah serem? Belum? Okay gimana suara degup jantung lengkap dengan jantungnya! Jantung nempel di jendela! Hahaha apa itu! Kalau yang nempel segelas soda sih gapapa. Hahaha. Ini jantung! Dua kali we te ef!

Kejadian terakhir adalah puncak dari semuanya. Hujan turun dengan derasnya. Bagai langit tak berkondom. Metafora sedikit gapapa ah. Lalu dua ekor kucing bermata merah ngamuk di jendela rumah. Gw ulangin, dua kucing bermata merah! Tiga kali we te ef! Bangsat! Kucing apaan matanya merah! Dua kucing bangsat yang kayak anjing itu mencoba masuk. Dan mereka lompat ke genteng yang tingginya tiga meter! Lompat sekali tiga meter! Wow magic! Mereka memukul – mukul genteng dan pintu serta jendela. Mencoba masuk. Suara mereka bukan kucing. Tapi harimau! Anjing!

Bokap bergerak ke gudang. Parang tujuannya. Nyokap mencegah dengan segala daya upaya. Lagi hamil katanya tak boleh membunuh hewan. Okay kalimat tadi menegaskan bahwa gw sudah tercetak. Hahaha. Akhirnya niat membunuh kucing mata merah dengan parang diurungkan. Lebih realistis memanggil orang pintar. Hahaha memanggil orang pintar terdengar lebih realistis daripada membunuh kucing mata merah dengan parang. Paradoks.

Orang pintar datang. Ia meminta kopi satu ceret. Selanjutnya bacaan – bacaan entah apa ditransfer ke dalam ceret. Kopi dituangkan ke tiap sudut rumah. Caranya memang tak rasional. Tapi itu berhasil. Kejadian tak terdefinisi lenyap! Bokap nyokap tinggal dengan aman setelah kopi sudut rumah. Mereka tak lagi gelisah.

Beberapa hari kemudian, tetangga datang dengan panic ke rumah. Suaminya bertindak layaknya kucing.
----------------------------------------------------------------

*diceritakan langsung oleh si korban yang tak lain tak bukan adalah bokap gw.

[Jogjakarta. 31 Mei 2010. 01:25 PM. Fikri]

Minggu, 23 Mei 2010

Saya Bingung Memberi Judul Dengan Apa, tapi Bukan Berarti Tulisan Ini Tanpa Judul, Hanya Tak Ada yang Pas Saja Menurut Saya

Kamu penetrasi di saat saya merepetisi siklus. Siklus dengan diagram parabola. Dan itu berarti ekuasi kuadrat. Yang titik optimumnya sudah dilewati. Berarti tinggal fase disakselerasi. Bukan, bukan saya menggemari siklus, tapi siklus itu yang mengekori. Dengan kamu, mungkin bukan parabola. Tapi ekuasi linear. Sehingga fase maksimum akan berbanding lurus dengan waktu.


Beberapa jenak bukan konstrain.  Apalagi kalau hanya masalah fundamental dalam kartu identitas. Hahaha apa itu! Aplikasi pembawa pesan hanya start. Jari terselip outputnya. Galau menyublim. Ide tak bisa ejakulasi. Ah apa ini? Tak bisa dinarasideksripsivisualisasikan.


Definisi yang terdistorsi. Hahaha. Kamu sendiri misinterpretasi, apalagi saya. Situasi yang terkonstruksi dan terkomposisi bukan koinsidens? Lalu kamu percaya itu script tuhan? Bukan, maaf menurut saya itu bukan garis takdir. Saya tak percaya takdir. Apalagi agama. Kamu tahu sendiri, nabi saya Thom York.


Ya intinya adalah kamu. Kamu penyebab banyaknya distraksi. Menyebabkan emosi ini meloncat secara kuantum dengan velositi yang mengagumkan menyebrangi kuadran dua. Mungkin tiga atau empat. Saya tak merasa terintimidasi atau malah superior, kecuali dengan logo kerangmu itu. Hahaha.


Ya sudah, ini sudah lumayan absurd dan surealis mungkin hanya kamu yang bisa mentranslasikan ini. Lalu mungkin kamu mengeksplanasi pada yang lain. Sebenarnya dengan mudah beberapa paragraph ini diganti dengan tiga kata. Tapi saya tak mau popular. Lagipula ini bukan teenlit yang menjamur di etalase toko buku masa kini.


Dan saya akan dengan senang hati berpakaian seperti sepupumu. Untuk mencuci kakimu yang sudah tertelan. Maaf, afeksi ini sudah membuat irasional.


Oiya, labia kamu lezat dan menggemaskan!


---------------------------------------------------


*m/


[bontang. 23 Mei 2010. 05:29 PM. Fikri]



Sabtu, 22 Mei 2010

Datang Untuk Efek Rumah Kaca, Tapi Zeke Khaseli Selalu di Hati


Hari itu memang sudah rencana untuk menghadiri tur dari label rekaman jangan marah records. Label kepunyaan Efek Rumah Kaca. Sempat khawatir karena kehabisan tiket. Jogjakarta memang minim hiburan, setidaknya untuk saya. Hahaha. Tiket sudah habis, saya sudah memesan untuk dua orang. Saya dan dia yang sudah menulis duluan tentang senangnya menonton konser Efek Rumah Kaca.





http://rebelzine.files.wordpress.com/2010/04/jangan-marah-records.jpg"]http://rebelzine.files.wordpress.com/2010/04/jangan-marah-records.jpg

Hujan rintik. Sepertinya atmosfir sudah dikomposisi untuk galau. Padahal siangnya di kota ini sudah deras sekali. Tak menyangka awet hingga jam delapan. Kami datang agak telat. Di panggung sudah tersedia Yakuyaya. Personelnya familiar. Ternyata dua dari mereka adalah anggota band pop terkenal tanah air. Tadinya saya berfikir band ini sekuel dari Sheila on 7, Sheila on 8. Hahaha. Mereka mengcover lagu Bigger Than My Body-nya penyanyi yang terkenal dengan lagu Your Body is Wonderland, John Mayer. Ketika mereka membawakan lagu mereka, saya tak begitu heran. Sangat di atas empatpuluh. Top 40.


Lalu band kedua tampil. The Kucruts. Saya memprediksi band ini akan jadi idola remaja selanjutnya. Musik mereka adalah hentakan drum The Upstairs dengan performa The Cangcuters. Hanya kurang abg - abg yang bergerak seragam di belakangnya. Mereka cukup komunikatif dan atraktif. Vokalisnya bergaya eksentrik dengan kacamata yang berpendar - pendar dengan kelincahan enerjik. Seperti mata capung namun bercahaya. Lagu bertitel unik jadi penutup, Cinta Waria. Tepuk tangan memekik di venue mirip gedung teater ini.



http://www.rollingstone.co.id/public/gallery/large/2009_11_09_01_37_28_2.jpg"]http://www.rollingstone.co.id/public/gallery/large/2009_11_09_01_37_28_2.jpg

Zeke Khaseli, vokalis, gitaris, dan pianis dari band Zeke and The Popo dan Lain, mengisi panggung. Tampil dengan topeng macan dan jas putih. Ditemani sosok berjas hujan dengan topeng ultraman. Lalu topeng Obama dan Monalisa yang memainkan synthesizer analog. Okay, ini absurd, surealis, dan psikedelik. Saya suka! Hahaha. Belum lagi bantuan visual yang sedikit vintage. Jadi lagu yang mereka bawakan menjadi semacam scoring untuk visual mereka. Adegan selanjutnya adalah yang paling keren. Sensasi orgasmic datang ketika itu. Mereka mengsinkronkan visual dengan lagu. Tujuannya mengajak audiens berkaraoke. Mungkin lagu Don't Worry Darling memang berkonsep seperti tersebut. Saya sangat amat teranestesi dengan liriknya. Liar dan surreal! Saya tak ingat banyak, hanya beberapa bagian.

don't worry darling


i get lonely too


you know i'm trying


to see you in the zoo


~


Ubur - ubur mana yang ga geleng - geleng


Lihat anak indian galau ga bisa manah target



Bangkutaman, si legenda indiepop Jogja yang sekarang makin sering muncul, naik ke atas panggung. Langsung menghajar penonton dengan Satelit. Sukses, penonton ber-sing along. Mereka membawakan hits mereka. She Burns the Disco, membuat penikmat indiepop Jogja berteriak "She is the garage of my soul"*yeah, you really are! Hehehe:D*. Tak lupa kera dan kabut juga dibawakan. Energi mereka berhasil ditransfer. Setidaknya beberapa jenak, sebelum Efek Rumah Kaca dengan ambiensi negative mengaduk - ngaduk suasana hati. Hahaha.


Konser Efek Rumah Kaca jadi destinasi prioritas hari itu. Saya dan dia siap bernyanyi bareng. Meneriakkan lirik - lirik ciamik dari Efek Rumah Kaca. Dulu band ini menjadi satu - satunya band dalam playlist aplikasi pemutar mp3 ketika saya dilanda galau labil berkepanjangan. Band yang menemani saya berkontemplasi dengan substansi alcohol. Afeksi membuat melankolis. Hahaha. Namun hari itu, lagu Efek Rumah Kaca tidak berefek negatif lagi. Tidak membuat saya harus menatap sepatu dan menggaruk - garuk tanah.





http://arobby.files.wordpress.com/2009/03/efekrumahkaca.jpg"]http://arobby.files.wordpress.com/2009/03/efekrumahkaca.jpg

Akhirnya kira - kira jam memukul sepuluh sang penutup dan pamungkas mempenetrasi panggung. Disambut dengan teriakan nama vokalis bertubi - tubi. Cholil disebut dari mana - mana. Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa yang bertenaga digeber sesaat mereka siap. Saya yang membawa media rekam audiovisual malas untuk mengabadikan. Sudah banyak stok Efek Rumah Kaca di dalam hardisk. Mungkin Cholil bisa bersubstitusi profesi, dari vokalis menjadi penghulu. Hahaha.


*kalau mau dengar lagu keren dari zeke khaseli bolehlah klik yang ini


[bontang. 22 Mei 2010. 12:56 AM. Fikri]



Kamis, 20 Mei 2010

Cerminan Diri

Saya tak pernah bisa menyelesaikan apa yang saya mula

—————————————————-

*makasi gita dan anel! hehehe :D

[bontang. 20 Mei 2010. 09:41 PM. fikri]

Selasa, 18 Mei 2010

Re: Tujuh Huruf

lo percaya ga kalo gw bilang mata gw berkaca kaca waktu baca balesan tujuh huruf itu berjejer di halaman blog lo? sungguh lo harus percaya.

Semoga Efek Ekstasi ini Permanen dan Semoga Tidak Halusinatif

Smurf lo!

[bontang. 18 Mei 2010. 05:10 Pm. fikri]

Minggu, 16 Mei 2010

Hore! Pindah Kost!

Ya anggap saja ini sekuel dari bapak kost laknat. Jadi setelah pindah dari kamar kost yang bapak kost-nya laknat tersebut, gw menyewa kamar kost yang lumayan luas. Fasilitas yang ditawarkan pun cukup menarik. Kamar enam kali delapan meter. Kamar mandi dalam kamar. Dapur dan washtafel. Gudang dan tak lupa tempat jemur pakaian. Oh ya! Satu lagi, kamarnya dua tingkat! Tingkat kedua luasnya hanya setengah lantai pertama. Cuma kurang eskalator aja ini kamar.

Kamar tersebut gw sewa berdua dengan temen yang juga menjadi korban “pengusiran” bapak kost laknat. Setelah cerita ini, akan gw ceritain tentang temen sekamar gw yang sangat amat normal tersebut di kalimat sebelum ini. Ternyata pindah kost bukan berarti kejadian absurd akan hilang. Masih saja menghantui kehidupan sehari - hari gw. Sekarang gw ceritain tentang tetangga kost gw yang baru.

Kamar di sebelah kiri kamar gw, dihuni oleh dua orang mahasiswa perguruan tinggi swasta terkenal yang terletak di jalan kaliurang kilometer 13. Susah amat ya mau ngomong UII. Haha. Errr, mereka sungguh introvert. Pintu kamar mereka tak pernah dibuka. Berbeda sekali dengan kamar gw yang pintunya ditutup hanya ketika tidur.

Gw ga pernah masuk ke kamar sebelah, temen sekamar gw yang agak sering. Mungkin karena mereka mempunyai minat yang sama dalam segala sesuatu yang berbau Jepang. Maaf, menurut gw, orang yang fanatik terhadap Jepang - Jepang-an akan cenderung ansos (anti sosial). Mereka terlalu geek. Mereka seringkali membawa komik, anime, manga, apapunlah namanya ke dalam kejadian nyata. Maaf, ini terlalu subjektif. Sekali lagi maaf.

Mereka seringkali membicarakan naruto inilah, onepiece itulah, bukannya gw ga suka komik. Gw suka banget komik. Tapi ya jangan terlalu masuk ke dalam cerita lah. Lalu mereka sering menyewa vcd semacam ksatria baja hitam dan teriak - teriak ketika jagoan mereka terdesak musuh. Suaranya tertangkap hingga telinga gw. Pengen banget teriak “Get a life, guys!” di depan pintu kamar mereka. Haha. Sekali lagi ini subjektif dan gw minta maaf.

Hipotesis gw, mereka adalah penyuka sesama jenis. Hipotesis ini gw ambil dari dialog mereka, yang kebetulan gw ikutan.

Si orang pertama bertanya,
“Iuuh fik, rambut gondrong kayak gitu ga panas ya?”
“Ya panas sih, tapi kan bisa dikuncir”
“Emang tujuan kamu gondrongin rambut apa?”
“Ga ada, males potong aja. Biar dikira rock n roll”
“Ihh aneh deh kamu! Mending rambut kamu dibikin kayak NARUTO aja kayak dia” sambil melihat si orang kedua.

Si orang kedua ikutan,
“Kayak gini maksud kamu?”

Sambil ngebenerin rambutnya dimirip - miripin kayak Naruto. Sumpah! Gw sampe sekarang ga tau rambut Naruto kayak gimana. Nyentuh komiknya aja udah males, terlalu ngepop di pasaran.

“Iya kayak gitu!”

Si orang pertama tersenyum senang setelah melihat rambut si orang kedua yang sudah “berbentuk” Naruto. Dan ini bagian absurdnya. Setelah ngomong tadi, si orang pertama menyenderkan kepalanya ke bahu orang kedua, lalu mereka bertemu pandang dan tersenyum!

Dangg! Gw seperti pengen naik-bajaj-tapi-di-depan- di-samping-supirnya ngelihat perilaku mereka. Tinggal dikasih backsound lagu India, lengkap sudah. Eh belum, ditambah pohon dan sedikit air hujan! Hal ini yang mendukung hipotesis gw menjadi signifikan. Tapi cukup dengan observasi singkat saja. Tak perlu berlama - lama, apalagi berpartisipasi. Cukup dilihat saja, tak usah dicoba. Takut ketagihan. Hahaha.

Belum lagi kamar sebelah kanan yang dihuni perempuan bertubuh memaksa-mata-harus-melirik. Yang sering melakukan yoga dengan tanktop yang sudah basah oleh keringat dan celana super pendek yang memamerkan kemulusan pahanya. Fik, ini tulisan lama - lama jadi stensilan! Hahaha. Sayang sudah bersuami. Hahaha.

Dan naasnya lagi, onderdil si perempuan sebelah kamar itu sering singgah di tempat jemuran kamar gw. Entah itu bra atau celana dalam. Mungkin tertiup angin, atau mungkin juga dia yang sengaja melempar ke sebelah. Dipelet kok minta? Haha. Dan itu adalah dilema terbesar gw di sana!

Sekarang gini deh. Direka - reka ya adegan gw ngebalikin onderdilnya. Gw lagi mau jemur handuk. Ngeliat beha ada di bawah jemuran gw. Gw pungut itu onderdil. Lalu gw ketok pintu kamar sebelah.

“Tok tok”
“Sebentar” lalu ia membuka pintu, “Oh fikri, kenapa fik? Ada apa?”

“Ini mbak, aku mau ngembaliin BEHA mbak” dialog ini aja udah agak absurd. Haha.

Setelah ini gw bisa memprediksi empat kalimat yang akan dilontarkan si mbak. Yang pertama adalah,

“Oohh pantesan beha aku sering ilang, kamu toh yang sering ngambilin?”

Kalau kalimat ini yang keluar, maka niat baik gw akan sirna! Niat baik gw yang mau ngembaliin beha yang tertiup angin akan berubah menjadi niat pencuri pakaian dalam. Gw dituduh maling pakaian dalam. Maka pilihan ngembaliin beha mendapat konstrain pertama.

Prediksi gw tentang kalimat kedua adalah,

“Oohh itu emang aku buang. Ngapain kamu balikin lagi?!”

Kalau kalimat ini yang keluar, maka niat baik gw akan sirna juga! Niat baik gw yang mau ngembaliin beha yang tertiup angin akan berubah menjadi niat memungut sampah. Beha itu sudah dibuang dan menjadi sampah. Maka pilihan ngembaliin beha mendapat konstrain kedua.

Prediksi gw tentang kalimat ketiga adalah,

“Loh kok beha aku bisa ada di kamu, fik? Kamu sering ngamen?”

Kalau kalimat ini yang keluar, maka niat baik gw akan sirna juga! Niat baik gw yang mau ngembaliin beha yang tertiup angin akan berubah menjadi niat transgender dan ngamen di sepanjang jalan kotabaru. Maka pilihan ngembaliin beha mendapat konstrain ketiga.

Prediksi gw tentang kalimat keempat adalah,

“Ya ampuun, fikri! Kamu baik banget! Mau ngembaliin beha aku. Yaudah masuk dulu, aku mau mandi terus make beha yang kamu balikin sebagai tanda terima kasih aku buat kamu. Ayo masuk jangan malu - malu! Jangan lupa kunci pintunya ya!”

Kalau kalimat ini yang keluar, maka dunia akan berhenti berputar dan berubah menjadi utopia. Hahaha. Maka niat baik gw akan sirna juga! Niat baik gw yang mau ngembaliin beha yang tertiup angin akan berubah menjadi niat tidak senonoh dan menggagahi perempuan bertubuh memaksa-mata-harus-melirik. Bener nih, lama - lama tulisan ini jadi stensilan. Hahaha. Maka pilihan ngembaliin beha mendapat konstrain keempat.

Nah, sekarang versi ga ngembaliin beha. Seandainya semua pakaian dalam, baik beha maupun celana dalam itu gw simpan dan kumpulin. Mungkin berjumlah tiga atau empat potong. Terus gw simpan dalam lemari gw. Suatu saat temen gw akan dateng ke kost dan mungkin akan menginap. Biasanya yang menginap tidak membawa baju ganti, berarti otomatis dia akan meminjam kaos gw. Dan adegan ini akan sangat mungkin terjadi.

“Pik, minjem kaos lo dong!”
“Iya, ambil aja sana di lemari”
“Oke, tengkyu pik”

Terus dia ke lemari gw. Terus membukanya.

“Pik! Kok isi lemari lo beha dan celana dalam cewe semua? Parah banget lo pik!”

Dan pilihan ga ngembaliin beha sangat riskan. Gw akan dianggap mempunyai semacam fetish pakaian dalam perempuan. Menurut informasi yang pernah gw baca, emang ada orang - orang yang fetish terhadap pakaian dalam perempuan. Mereka mencuri dan menggunakannya sebagai stimulus untuk masturbasi. Dan sayangnya gw bukan tipikal seperti itu. Gw lebih suka melihat pakaian dalam yang sedang dipakai. Bukan yang sedang dijemur. Hahaha.

Dilema itu sempet bikin hidup gw hancur. Gw kehilangan nafsu makan dan gairah belajar. Kuliah terbengkalai. Badan gw kurus, IPK gw jeblok. Oke terlalu hiperbola. Ya Dilema antara ngembaliin beha dan menyimpannya mempunyai konsekuensi masing - masing. Sebenernya solusinya udah ketemu.

Solusinya adalah gw lempar onderdil itu ke tempat jemuran si mbak. Terus ngapain gw nulis panjang - panjang ya?

[jogjakarta. 30 Maret 2010. 02:13 PM. fikri]

Suatu Hari yang Tidak Lalu

Suatu hari yang tidak lalu. Datanglah sepasang sayap beserta ibu perinya. Ia menawarkanku jadi hewan yang paling buas, singa. Tapi berhubung menurutku, singa tidak lebih menyeramkan daripada belalang. Maka aku menolaknya, dan penawaran berganti. Ia menawarkanku menjadi seorang yang lebih baik. Yang lagi - lagi aku lambaikan tangan. Itu terlalu klise untukku. Menjadi orang yang lebih baik? Hahaha. Ini bukan komik.

Lalu ibu peri menanyakan padaku. Tentang apa yang sebenenarnya menjadi keinginanku seutuhnya. Lalu aku menjawab dengan lantang, kalau keinginanku adalah.

[Jogjakarta. 13 Mei 2010. 05:02 PM. Fikri]

Sensasi Elektrik Sinema Elektronik

Hujan turun keroyokan. Seperti amuk massa korban penggusuran yang tak punya sertifikat hak milik. Di tenda, piring sudah kosong, sedotan dan es batu tertinggal di gelas. Perut mereka kenyang. Walaupun titik ekuilibrium diperkosa penjaja makanan.


"Yuk, mumpung agak redaan dikit"


Tangan kiri si jantan menahan payung. Tangan kanan menggandeng betina. Jalanan becek menuju stasiun, hujan agak deras, lampu kota, tukang becak yang menggigil, Jogjakarta


"Anjing! Ini sinema elektronik sekali. Tapi sensasinya kayak tai!"


Dilihatnya si betina. Tangan kiri menggandeng jantan, tangan kanannya memegang plastik basah berisi pakaian kotor si jantan.


"Okay, minus pakaian kotornya"


Lampu kota kuning, sirene kereta api dan palang menutup, Malioboro di depan mata, "mau beli bakpia mas, tak anterke, 5000 wae", si betina membuka dialog.


"Ini romantis ya?"


"Emang romantis definisinya apa?"


"Perasaan berdebar - debar"


"Hahaha, nyolong sendal jepit pas jumatan juga berdebar - debar, itu romantis dong?"


"Hahahaha bangsat lo"


"Gw ga tau eksplanasi dari romantis. Yang gw tau, gw adiksi menyelipkan jari gw di antara jemari lo"




----------------------------------------------------------


*sekali - kali ngepop aahh! haha. mimpi kecil yang menyenangkan. m/


[jogjakarta. 7 Mei 2010. 07:19 PM. fikri]

Joni dan Susi (Tidak) Lelah Bercinta

Kau terlalu kencang. Jangan bergerak terlalu kencang. Aku sulit menahanmu. Ambil kursi itu. Duduklah. Siapkan telingamu. Pun pisau. Tolong. Tolong iris. Iris secuil. Agar menjadi debu hologram. Atau debu kosmik. Atau apalah aku tak peduli.

Tapi kamu cuma diam membisu begitu saja. Pisau itu ada di tanganku tapi tidak untuk mengiris. Karena katanya hatimu terbuat dari batu karang. Tidak sayang, aku tidak berlari terlalu kencang. Itu hanya detak jantungmu mengejar nafas hatiku.

Nafasmu terlalu susah diikuti, Susi. Begitu liar! Venezia, Oslo, Lima, Praha, Barcelona, ya! Nafasmu terlalu jauh. Mungkin aku perlu kereta untuk membuntuti. Dan tahukah kamu? Kereta dan nafasmu adu lari. Susi, bangunkan aku jika semua ini hanya dan hanya mimpi.

Nikotin bangsat. Di antara deru nafasku dan bulir keringat di dadamu aku masih mencari debu debu kosmik hologram, apa lagi itu katamu sayang? Tidak sayang, aku tidak terlalu kencang. Dan pisau ini masih ditanganku. Hatimu begitu keras bagai karang.

Tidak, kau melesat! Kau tidak terkontrol. Istirahatlah sejenak. Bernafaslah. Aku janji kita tak akan terengah. Visualmu sungguh menganestesi. Orgasmik. Biarkan aku menatapmu, Susi. Walau hanya dalam empatbelas inchi.

Joni, apakah hatimu betul dari karang? Joni, pisauku berlumur jingga. Joni aku ingin di sana. Bermandi debu kosmik imajinermu. Joni, tarik tanganku. Joni ikat nafasku. Joni, dekap gairahku. Joni aku ingin di sana. Padamu saja jatuh cinta

Hey Susi, aku Joni. Lihat baik - baik ruang ini. Di sebelah sana jendela, dan di sebelah sini segelas soda.

Tapi kamu cuma diam membisu begitu saja. Pisau itu berwarna merah. Joni, aku orgasme..

————————————————————————-

*terima kasih Melancholic Bitch!
**yang italic adalah karya hebat dari gitaditya.
***git ini tambah lucu kok. dan gw seneng banget! :D

[jogjakarta dan jakarta. 5 Mei 2010. 01:39 PM. fikri dan gitaditya]