Sabtu, 03 Juli 2010

Ningsih

“Ningsih hilang! Ningsih hilaaaang!”

Gadis perawan ayu itu menyusul. Komala lebih dulu lenyap. Keberadaan keduanya kini menjadi topik pembicaraan Kampung Mekarsari. Pak Saring bertambah pusing. Sebagai kepala adat di sana, ia resah atas peristiwa janggal ini. Dalam tiga minggu, perempuan di wilayah kekuasaannya, hilang tak berbekas.

Ningsih, gadis putus sekolah ini memang menarik. Kulitnya kuning langsat. Bersih. Tak ada jerawat yang mengisi ruang mukanya. Hanya tahi lalat di bagian dagu yang mempermanis parasnya. Tubuhnya tak terlalu gemuk dan terlalu kurus. Sesuai dengan fantasi pemuda kampung tentang imaji perempuan dalam masturbasinya. Tinggi juga standar perempuan. Kalau Ningsih lewat, harum tubuhnya membuat hormon testosteron pemuda kampung bekerja maksimal. Suaranya seksi. Tak heran ia menjadi sinden di kampung. Acara kawinan selalu ramai pemuda. Mereka datang hanya untuk mendengarkan Ningsih menyinden merdu. Tak terbayang suara Ningsih ketika mendesah. Bahkan ketika pakaiannya basah oleh keringat setelah bekerja di ladang, ia justru menaikkan birahi pemuda.

Tapi kini aroma Ningsih menguap. Tak lagi tertangkap hidung pemuda. Suara seksinya juga membias. Tak lagi ada merdunya Ningsih menyinden. Ningsih terakhir kali pamit untuk sholat maghrib di musholla, beberapa ratus meter di sebelah kanan rumahnya. Biasanya, Ningsih kembali setelah Sholat. Tapi malam itu malam Jumat, Ningsih pasti membaca surat Yasin di sana. Kalau malam Jumat, Ningsih kembali setelah Isya’. Jam memukul sembilan, Ningsih belum juga pulang. Orang tuanya gelisah. Mereka menyulut obor dan mendatangi musholla. Sesampainya di sana, musholla sudah gelap. Rumah – rumah di sekitarnya pun. Mereka panik.
Ayah Ningsih berlari kecil mendatangi kediaman Pak Saring. Api di atas obornya mengecil tertiup angin. Ibunya menunggu di musholla, berharap Ningsih masih di sekitar sana. Matanya masih mencari. Hidung juga ia gunakan. Ia hapal dengan bau Ningsih. Ia memanggil nama anaknya berulang kali dengan suara keras. Hatinya juga berulang kali meneriakkan Ningsih. Hasilnya nihil. Nol. Warga kampung yang terusik dengan suara ibu Ningsih terbangun. Rumah – rumah di sekitar musholla mulai menunjukkan cahaya. Satu persatu berkumpul di depan musholla.

“Kenapa Bu Yeyet? Ada apa malam – malam begini?”

“Ningsih belum pulang. Ningsih hilang. Tadi ia pamit sholat maghrib dan mengaji. Sampe sekarang belum pulang. Saya takut, pak. Saya takut dia kenapa – napa”
“Ya udah Ibu Yeyet tenang aja dulu. Mungkin ke rumah temannya? Atau mungkin saja Ningsih sudah pulang lewat jalan lain, ga papasan sama ibu”

Di saat yang bersamaan, ayah Ningsih menceritakan apa yang sedang terjadi. Pak Saring hanya menganggukkan kepala sesekali. Ayah Ningsih tetap terlihat tegar. Walaupun Pak Saring tahu betul watak ayah Ningsih.

“Pak tenang dulu saja di sini. Ini diminum tehnya mumpung masih anget”

Ayah Ningsih menyeruput kencang. Tak peduli panas yang membakar lidahnya. Pak Saring yang dari tadi duduk di depan ayah Ningsih meluruskan lututnya. Ia berdiri. Berjalan perlahan ke arah luar rumahnya. Ayah Ningsih akan mengikuti Pak Saring. Tapi Pak Saring menyuruhnya tetap duduk. Ia menahan bahunya, lalu berjalan ke arah pintu depan dan berhenti di pojok rumahnya. Memukul kentongan lima kali, jeda, memukul lagi lima kali, lalu jeda. Bising.

***

Kecurigaan dilekatkan pada Iman. Pemuda malas ini memang menaruh hati pada Ningsih. Apa lacur, Iman tak memiliki modal apapun selain parasnya yang lumayan. Orang tua Ningsih tak setuju. Iman tak mampu memenangkan hati orang tua Ningsih. Orang tua Ningsih melarang Ningsih menemui Iman. Apalagi di malam Minggu. Iman tak lebih dari segumpal daging yang teronggok di ranjang menurut mereka. Tapi hal itu tak menyurutkan niat Iman untuk berinteraksi dengan Ningsih. Ia bangga benar dengan statusnya sebagai kekasih Ningsih, perempuan idola seluruh kampung.

Ningsih adalah perempuan yang membuatnya takluk. Ibunya saja berani ia bantah jika menyangkut Ningsih. Kadang – kadang uang ibunya dicuri. Hanya untuk membelikan pakaian baru untuk Ningsih. Iman tahu ia disangka terlibat. Iman menyangka pemuda kampung cemburu terhadapnya. Terang saja ia membantah keras. Kalaupun ia membunuh, sasarannya orangtua Ningsih. Bukan Ningsih. Ia begitu menyimpan afeksi begitu dalam kepada Ningsih. Pun sebaliknya.

Pemuda kampung yang semalam ikut mencari Ningsih, kini mendatangi rumah Iman. Sembilan sepuluh orang menggedor pintu. Mereka mencari Iman. Ayah Iman berbohong mengatakan Iman tak ada di rumah, tapi Iman terlanjur keluar rumah. Ia marah. Iman juga sedang galau dengan hilangnya Ningsih. Terlebih harus menghadapi jumlah massa yang tak sedikit. Tangannya mengepal kencang. Urat di tangannya terlihat jelas. Matanya garang. Otot rahangnya bergerak – gerak mengikuti gerakan gigi.

Ia bersitegang dengan pemuda kampung yang mendatanginya. Meminta kejelasan keberadaan Ningsih. Suasana kacau. Kepalan tangan pemimpin pemuda sempat mengenai pelipis Iman. Menghadapi tuduhan tanpa dasar dan alibi yang kuat, Iman lari ke bagian belakang rumahnya dan mengambil kujang. Emosinya meledak. Menghadapi kekuatan eksplosif begini, pemuda kampung memilih mundur.

***

Pak Endi yang kebetulan sedang berada di tengah asetnya mendengar keributan itu. Beubegik yang akan dipasang diletakkan begitu saja. Suara ribut penyebabnya. Pak Endi yang tadinya akan memasang beubegik tambahan akhirnya memilih untuk mendatangi asal suara ribut tersebut. Mandor dan pekerjanya disuruh berjalan duluan di depannya. Takut nanti ada apa – apa.

Begitu sampai di sana, mandor langsung bereaksi melerai pertikaian. Untung saja si mandor berbadan tegap besar. Nyali pemuda ciut. Mereka menurut. Pak Endi yang berjalan agak lambat menghampiri kerumunan tersebut. Orang tua Iman sedikit lega dengan datangnya Pak Endi. Sekaligus segan. Mereka menumpang tinggal di tanah Pak Endi.

“Ada apa ini? Suaranya sampai sawah saya”

“Ini Pak, Ningsih hilang semalam. Iman kan pacarnya. Pasti dia ada hubungannya”

“Hey! Kamu jangan asal nuduh! Mana buktinya?”, Iman mengelak.

“Sudah – sudah. Kalian ini kayak anak kecil aja. Diselesein baik – baik kan bisa. Jangan asal main jotos aja. Iman itu kujangnya disimpen dulu sana. Nanti ada setan lewat saya yang kena”
“Baik Pak Endi”

Iman menuju dapur. Menyimpan kujang orang tuanya.

“Kamu beneran ga tau? Tadi malem kamu ke mana?”
“Saya beneran ga tau Pak Endi. Tadi malem saya membantu bapak menangkap tikus di sawah. Saya tau kalau malam jumat, Ningsih pergi mengaji. Saya ga pernah ganggu dia kalo sedang mengaji”

“Benar Iman mencari tikus, pak?”

“Benar Pak Endi. Tadi malem ia sama saya nyari tikus”

“Yasudah kalo begitu. Iman sini!”

“Baik Pak”, Iman mendekat.

“Saya tanya sekali lagi. Iman kamu tau di mana Ningsih”

“Ga tau Pak. Saya berani sumpah”

“Bohong pak! Pasti dia tau dimana Ningsih”, suara salah seorang pemuda.

“Diam kamu! Saya ga bicara sama kamu! Iman kamu berani sumpah pocong?”

“Berani pak. Saya berani sumpah pocong!”, jawabnya tegas.

Kharisma Pak Endi mampu menenangkan kumpulan pemuda. Mandor sebesar itu saja bertekuk lutut. Tak berani melihat mata Pak Endi langsung.

“Ya sudah kalo begitu. Iman yakin sekali dengan ketidakterlibatannya. Bapaknya juga bilang tadi malem mereka berdua mencari tikus. Ada yang bersama Ningsih tadi malam?”
“Kata Pak Ustadz, Ningsih mengaji setelah sholat maghrib. Setelah itu Pak Ustadz tidak melihat dia lagi”, salah seorang dari kerumunan menjelaskan.

“Oohh. Berarti Ningsih sudah sampai di musholla”

“Iya Pak Endi, waktu sholat maghrib, Ningsih berangkat bareng sama saya. Setelah sholat maghrib, saya pulang duluan”

“Berarti hanya Pak Ustadz yang melihat Ningsih terakhir?”, tanya Pak Endi.

“Setahu kami sih begitu, pak”

“Oh ya sudah. Berarti yang patut dicurigai ya Pak Ustadz itu. Tapi masa iya Pak Ustadz begitu?”
“Tidak, Pak Endi. Pak Ustadz pulang lebih dulu daripada Ningsih. Waktu Pak Ustadz pulang, Ningsih masih melanjutkan mengaji di musholla. Pak Ustadz pulang setelah bubar sholat Isya’”

“Waaah, tambah rumit saja ini. Ada keterangan lagi ga?”, tanya Pak Endi lebih lanjut.

“Orang tua Ningsih bilang kalau beberapa hari sebelum Ningsih hilang, Ningsih ngiri sama Yati”

“Kalau menurut saya, Ningsih dan Komala tergiur dengan cerita Yati. Mereka ikutan cari kerja di kota. Ini semua pasti ujung – ujungnya duit. Jaman sekarang perempuan butuh dandan. Pengen ini pengen itu. Kampung ini ga menyediakannya. Mereka minggat ke kota”

“Iya mungkin saja begitu. Mereka ngiri sama Yati. Yati kan sekarang udah jadi orang. Udah kaya. Dulu dia apa? Makan aja ngutang beras sama saya. Sekarang? Lihat saja kelakuannya. Belanja ke pasar udah kayak mau nyinden. Pake pemerah pipi segala. Terus lidahnya udah berubah. Sekarang tempe ga enak katanya. Ayam melulu kadang sapi.”, pemimpin pemuda sekarang meralat tuduhannya.

“Iya mereka ngiri tuh”, yang lain menimpali

“Ya sudah ayo pada bubar! Siang panas begini malah mau berantem. Bukannya kerja, ini malah ngurusin orang lain. Ayo bubar! Bubar!”

“Begini adik – adik semua, kita tunggu saja nanti hari raya. Palingan mereka juga udah kembali ke sini. Kita lihat saja bawa apa mereka. Ya udah ayo sekarang pulang aja!”,

Pak Endi menutup bicara. Pemuda kampung meminta maaf. Jajang, pemimpin mereka, mewakili. Iman masih dongkol Pelipisnya memang tak mengeluarkan darah. Hanya saja darahnya masih mendidih. Satu persatu mereka bubar. Meninggalkan Iman yang meluap – luap.

***

Pak Endi merupakan seorang yang paling disegani di Kampung Mekarsari. Melebihi kepala adat, Pak Saring. Rumahnya agak menjorok ke dalam kampung. Tak begitu besar memang, halamannya saja yang luas. Halaman itu dipakai untuk menumpuk hasil panen untuk selanjutnya dijual ke kota. Sebagian besar sawah pertanian di kampung, dipunyai Pak Endi. Warga sangat hormat kepadanya. Banyak dari mereka yang hidup dari sawah milik Pak Endi. Ia juga sangat royal. Sering memberikan upah lebih kepada anak buahnya. Anak buahnya belasan. Tak heran ia begitu disegani.

Ningsih juga bekerja di ladang Pak Endi. Ia pulang ketika petang sebelum maghrib. Dan ternyata hari itu adalah hari terakhir Ningsih bekerja. Karena hingga kini, Ningsih tinggal nama dan foto. Fisiknya tak diketahui lagi. Ayah dan Ibunya hanya bisa pasrah. Mereka menyerah mencari kabar anaknya. Mereka sudah rela anaknya diambil kembali oleh tuhan. Padahal belum bisa dipastikan Ningsih sudah tewas apa belum.

Waktu pertikaian berlangsung, Ia, mandor, dan dua orang anak buahnya sedang memasang beubegik. Mencegah sawah di perbatasan kampung itu habis dimakani burung. Sebetulnya hama burung tak begitu mengganggu di kampung ini. Lebih sering belalang atau wereng.
Pak Endi tak seperti majikan yang diceritakan di dalam sinema elektronik. Biasanya yang ditampilkan dalam televisi, tuan tanah itu kejam. Semena – mena terhadap warga sekitar. Anak buahnya didzolimi. Lalu meminjamkan uang kepada orang yang membutuhkan uang cepat dengan bunga yang tidak masuk akal. Istrinya banyak. Tidak, Pak Endi tidak seperti itu. Istrinya hanya satu. Dermawan bukan main.

Pak Endi tak memiliki anak. Meninggal dalam usia balita setahun kemarin. Sakit keras katanya. Sepeninggal anaknya, Pak Endi berusaha giat menjalankan usaha pertaniannya. Hasilnya baru dinikmati setahun terakhir setelah enam tahun berjalan. Kini, Pak Endi menjadi penyedia hasil pertanian terkemuka di kota. Sawah bertambah luas seiring dengan bertambahnya pemasukan. Taraf hidup rakyat juga meningkat karena Pak Endi.

***

Dua pekan lalu Yati pulang ke kampung Mekarsari. Majikannya sedang berlibur ke Singapura. Yati jelas tak diajak. Hanya diberi uang saku lebih untuk bekal pulang. Pekerjaan rumah tangganya libur seminggu. Uang sakunya dibarter dengan segala kemewahan dan kebutuhan keluarganya di kampung.

Bawaannya melimpah. Jari manisnya mengkilat. Leher juga. Bajunya bukan daster longgar lagi. Bhnya juga kini tiap hari ganti. Tak harus menunggu berbau apek. Logatnya juga sedikit berubah. Seperti di sinetron menurut orang – orang. Baru juga tinggal setahun di kota, gayanya sudah selangit. Apa – apa saja dibandingkan dengan kota. Televisilah, teleponlah, bajulah, celanalah, apa saja yang penting terlihat sukses. Yang penting bisa dianggap oleh warga kampung.

Berita kepulangan Yati dengan cepat menyebar ke seluruh kampung. Berita tentang Yati yang sekarang sudah jadi orang punya juga ikutan menyebar. Hal ini juga sampai ke telinga Ningsih dan Komala. Mereka langsung menyambangi gubuk Yati sesaat setelah mereka tahu Yati sudah berada di Kampung Mekarsari.

Ningsih dan Komala memang teman dekat Yati. Mereka teman main karet dan petak umpet sedari dulu. Dari mereka belum menstruasi dan membesar payudaranya serta tumbuh bulu. Yati menceritakan pengalamannya bekerja di kota kepada mereka. Bersama majikan orang kaya. Orang yang lebih kaya daripada Pak Endi. Ditunjukkannya hasil Yati bekerja. Emas imitasi, baju dan celana mahal, dan pakaian dalam yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Dan mereka cemburu. Yati senang melihat mereka cemburu. Yati yang dulu makan harus mengutang kiri kanan kini bisa sumringah. Jumawa.

***

Tiga bulan berselang. Lebaran idul fitri tiba. Yati mudik. Tapi Ningsih dan Komala tidak ada. Orang tua Ningsih dan Komala masih berharap anaknya kembali. Harapan kosong sayangnya. Ningsih dan Komala tak pernah pulang. Yati mengaku tidak tahu menahu dengan keberadaan mereka. Yati tidak mau dikaitkan. Yati tidak mengajak mereka ke kota. Yati hanya pamer.
Di saat keluarga lain bersuka ria dengan datangnya hari raya. Berkumpul. Orang tua Ningsih hanya bisa meratap. Ingin sekali mereka menghujat pencipta-Nya. Hingga saat itu, secuil kabar tentang Ningsih tidak pernah bertambah. Mereka hanya bisa menangis menatap gambar diri Ningsih.

Iman sedikit hilang kesadaran. Semenjak hilangnya Ningsih, Ia sering mengurung diri di kamar. Tak mau makan. Minum hanya segelas kecil. Itu pun dipaksa ibunya. Kejiwaannya bergeser. Ayahnya kini bekerja sendiri. Iman tak lagi membantu. Iman malah diberikan ruangan khusus di belakang rumahnya dan dirantai kakinya. Iman terkadang mengamuk tanpa sebab.
***

Delapan bulan kemudian peristiwa hilangnya Ningsih sudah berganti dengan topik pembicaraan baru. Tentang betapa kaya dan dermawannya Pak Endi. Tanahnya semakin luas saja. Buruhnya tiga kali lipat. Rumahnya dipenuhi kayu jati. Mobilnya kini sedan. Mobil pick up-nya sekarang menjadi kendaraan operasional pengangkut hasil panen. Tak lagi digunakan untuk keperluan sehari – hari. Musholla di kampung juga kini rapi. Infaq dari Pak Endi yang merapikannya.

Ningsih dan Komala memang sudah tiada. Hanya saja sesekali terdengar suara sinden di tengah malam. Malah terkadang suara isak tangis perempuan. Warga tidak tahu darimana suara itu berasal. Hanya sayup – sayup terdengar dari sawah Pak Endi. Warga juga tidak tahu satu hal. Beubegik – beubegik itu sering terlihat muram.
---------

*Beubegik adalah boneka pengusir hama dalam bahasa sunda

[Jogjakarta. 29 Juni 2010. 05.01 PM. Fikri]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar