Rabu, 09 Juni 2010

Smurf!


Okay, sebelumnya gw peringatkan tulisan ini mungkin tulisan ter-cheesy dan ternorak yang pernah gw buat. Tapi apapun reaksi dan respon lo setelah membaca ini gw ga peduli. Sama sekali ga peduli. Sebaiknya lo jangan nerusin baca jika ga sesuai dengan ekspektasi lo. Mungkin dalam hati lo akan berkomentar kencang “ini fikri bukan sih?”, iya ini fikri, dalam versi afeksi membuncah.

Tepat sebulan yang lalu adalah tujuh hari dari pertemuan tak virtual. Namanya Gitaditya Witono. Gw kenal dengannya lewat sebuah situs blog bersama. Ya kenal secara digital. Lalu kotak masuk dalam situs jejaring sosial masa kini bertambah satu pesan. Ia mau ke Jogja dan ingin bertemu dengan para pengguna situs blog dalam kawasan Jogja dan sekitarnya bersama tadi. Kopi darat. Mungkin itu hanya alibinya untuk bertemu gw. Dia sudah memiliki ketertarikan ketika melihat halaman profil gw. Hahaha. Agar mempermudah komunikasi, ya gw beri saja username aplikasi obrol elektronik.

Obrol elektronik itu awal interaksi dua arah gw dan Gita. Suasana yang kaku ketika itu. Tapi, entah kenapa gw merasa “klik” dengannya. Ada kabel imajiner yang membuat gw merasa tersambung secara langsung. Keesokan harinya ia sudah berada di kota yang sama dengan gw. Untuk rekreasi dan menghilang alibinya.


Pertemuan secara riil terjadi di sebuah CafĂ© di bilangan jalan kaliurang. Coffee Break. “Gita” katanya mantap. Okay, sampai situ belum ada aliran elektrik. Hehe. Tapi dari awal percakapan digital yang berlanjut pada konversasi analog, gw merasa derajat relasi gw dan Gita bukan sekedar teman dunia maya. Lebih dari itu. Dan benar, di hari ketiga ia di Jogja, ada reaksi kimia adhesi. Atau reaksi magnet berbeda polar. Atau apa sajalah selama itu tarik – menarik. Tidak perlu kertas lakmus untuk menentukan asam atau basa. Cukup kami yang bicara. Hehehe. Lalu voila! Halaman pertama dari buku afeksi gw, akhirnya terbit juga. Semoga tidak ada sekuelnya, hanya babnya saja yang banyak. Hehe.


Selera musik kami agak berbeda. Padahal, music adalah salah satu parameter gw dalam mencari lawan jenis. Yah anggap saja semacam kriteria. Agak males juga, ketika lo deketin lawan jenis, tetapi selera musiknya berseberangan dengan lo. Misalnya ketika lo sedang pedekate ke rumahnya, ia memasang poster Charlie van houten atau Andhika Kangen Band di tembok kamarnya. Mungkin gw ga akan pedekate, Cuma pura – pura nanya alamat. Hahaha. Tapi dalam pelajaran SD, jika semua musik adalah semesta, maka musik kegemaran gw adalah himpunan A dan selera musik Gita adalah himpunan B. Himpunan A dan himpunan B memiliki irisan yang terintegrasi. Sumpah bahasa gw agak kacau. Bodo amat. Hahaha. Dan irisan itulah yang membuat gw dan Gita terkoneksi. Hehehe. Dia suka Mew! Dia Frengers! Semoga dia balik ke rumah untuk natal. Hahaha.


Mendapatkan pacar adalah sesuatu yang aneh. Sama seperti ketika gw sedang menulis. Saat beberapa batang rokok sudah dibakar, asbak sudah penuh, tetapi ms word masih saja berwarna putih. Atau sudah ada tulisan namun ketika dibaca ulang kok rasanya ga plong. Begitu lagi berak di kamar mandi lalu berada di depan layar pepat empat belas inci tiba – tiba menulis jadi lancar. Dan lo harus tau, ini adalah tulisan ketiga gw setelah sebelumnya dua kali mengulang dan masih tidak sreg. Dan cukup satu batang rokok. Kali ini gw seperti sedang naik mobil di jalan bebas hambatan. Kurang melesat? Okay, gw seperti naik mobil sport dua pintu keluaran pabrik Italy terkemuka di jalan bebas hambatan ketika hari raya idul fitri. Hahaha.


Iya analoginya hampir sama dengan mendapatkan pacar. Ketika lo udah berusaha sekuat mungkin untuk berusaha mencari pacar, pedekate dengan durasi yang memakan waktu tak sedikit kanan kiri atas bawah tua muda depan belakang, tak berhasil juga. Lo akan pasrah dengan keadaan naas itu. Sama seperti gw. Gw udah tidak berfikir untuk mencari balasan afeksi dari lawan jenis. Kalau dalam siklus parabola, gw sudah melewati titik optimum dan berada di fase disakselerasi. Penurunan drastis. Gw tidak berfikir untuk mendapatkan klimak lagi. Gita datang ketika gw merepetisi siklus itu. Di saat yang tidak terduga, seperti lagu Puresaturday – nyala, kali ini cukup tujuh hari. Dan dengan tujuh hari itu cukup untuk membawa kami menuju semesta.


Terlalu banyak hal yang menyenangkan, menyenangkan lahir batin hahaha, selama sebulan ini. Menonton gigs Efek Rumah Kaca, yang baru kali itu gw nikmati tanpa ada rasa ingin menggaruk tanah. Berganti dengan ingin menyelipkan jari diantara jemarinya dan tak ingin dilepas. Lalu bertingkah seperti usia belasan dan rekreasi ke dunia fantasi. Serasa dunia hanya fantasi kami berdua. Tak peduli yang lain. Lalu kota hujan dengan segala hewan liar dan air terjunnya. Itu dystopia. Bukan utopia. Tapi yinyang. Menyenangkan tak melulu senyum dan tawa. Bisa juga galau dan emosi negative. Masalah fundamental dalam kartu identitas mulai berbuat ulah. Masalah utama negeri ini juga ikut mengambil porsi. Namun, gw akan berusaha maksimum. Tidak akan angkat bendera putih untuk hal seremeh itu. Hehe.


Namanya Gitaditya Witono. Dan kami sudah melewati bulan pertama! Smurf!

Hahaha sudah gw bilang di awal paragraph kan?

------------------------------------------
7 hari menuju semesta - melancholic bitch


Senin sedang cerah, ijinkanlah, kurayu dirimu : lukai aku, belah dadaku, makan jantungku, renggut hatiku dalam suka atau duka, kaya atau papa, sampai kematian memisahkan; memisah jiwa raga kita.

Selasa, kau dan aku, jika waktu berpihak padaku, ijinkanlah, kumelukaimu. Ijinkanlah kupetakan tubuhmu, dalam suka atau duka, kaya atau papa sampai kematian memisahkan membelah jiwa raga kita

Rabu, langit kelabu, tanpa ragu-ragu, perintahkan padaku, rebut segalanya untukmu dan seperti kau tahu: sgalanya adalah seluruhnya.

Katakanlah jika aku Israel kau Palestina; jika aku Amerika, kau seluruh dunia; jika aku miskin kau negara; jika aku mati kau kematian lainnya.

Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu pepatkan seluruh semesta. Jika kau menginginkannya. Pepatkan seluruh sisi-sisinya.


[Jogjakarta. 9 Juni 2010. 02:32 AM. fikri]

11 komentar:

  1. okeh akhirnya saya membaca tulisan ini dari seorang fikri.
    hahahahha.congrats kawan.senang melihatmu tidak menggaruk tanah dan bisa melingkarkan tangan ke pundak seorang hawa di sebuah gigs yang selalu kita hadiri.

    smurf!hahhahahahahahah

    BalasHapus
  2. hey anonim tanpa nama. kamu sani ya?

    BalasHapus
  3. analogi menulis-mendapatkan pacar sepertinya juga aku alami ketika akhernya aku merit.
    aku sempet frustasi kenapa kalo menjalin hubungan ga' pernah lama, selalu putus di tengah jalan (n mostly krn perbedaan identitas di kartu pengenal).
    tp hingga pada akhernya udah sampai pada sebuah kesiapan mental bahwa kalo menjalin hubungan ya berarti siap untuk pisah,,, malah disatukan ampe kiamat. haHaha

    gut luck on ur relationship fik :)

    BalasHapus
  4. Hm Hm Hm awalnya aku kira smurf komik hahahhaha

    ternyata, 1 bulanan selamat ya fik git,

    senangnya.... SEMOGA IRISAN ITU MEMBAWA

    KEBAHAGIAAN...

    BalasHapus
  5. ternyata anonim bukan sani. lalu hey anonim tanpa nama kamu siapa?

    sepertinya aku harus berguru padamu cit. lagipula sebentar lagi kan jadi dosen. hahaha. gudlak juga buat bapak dan ibu priambodo. polemik rumah tangga jangan sampai terdengar ke kost sebelah yaa. hehehehe :D

    hehehe iya rahmi, makasi banyak yaaa.

    BalasHapus
  6. oh ini toh foto si fikri itu :p

    buat gita : not bad ah git..item manis gimana gitu..hahaha...

    BalasHapus
  7. kalo aku yang ngaku anonim gimana fik? tapi bukan aku.

    berarti kamu uda ngerasain yang gegen rasain: ERK jadi disulap jadi pengantar bahagia.
    Menyenangkan bukan merasakan cinta lawan jenis yang terbalaskan?

    BalasHapus
  8. smurf jadi 'kata' kesukaan orang jatuh cinta ya.. hahaha

    cie cie in aja aaaah..
    daripada basi bilang "semoga langgeng ya mas!" hahaha

    BalasHapus
  9. bukan siapa2.cuma teman yang senang melihat temannya bahagia.

    BalasHapus