Kamis, 11 Februari 2010

Di Kamar Ini

“Aku ikut!”, si Meja Jati berteriak menyela.

“Satu minggu penuh!”, tambahnya.

Sebenarnya aku kasihan juga melihat Televisi, sudah menjadi wasit, menjadi objek taruhan pula. Tapi apa boleh buat, menonton acara televisi kesukaan adalah kemewahan satu – satunya di sini, toh Televisi tak pernah keberatan dengan dua peran itu. Lagipula usianya paling muda di antara kami berempat.

Tiga jam lalu, si Imam, petugas pembersih, datang mengunjungi kami. Itu berarti akan ada tamu yang menginap. Imam dengan telaten membersihkan kamar ini. Dimulai dengan merapikan si Ranjang Lapuk, memasang sprei dan sarung bantal, berpindah mengelap dengan kain, seluruh tubuhku. Lalu membersihkan kepala si Lemari Tua yang sudah dipenuhi debu halus dan memberi kapur barus ke dalam tubuhnya. Yang terakhir ia menaruh gelas beserta termos dan air mineral di atas si Meja Jati.

Sekarang di depan kami, teronggok satu setelan jas dan pakaian perempuan. Mereka yang punya terdengar hanya suaranya. Itu pun dari kamar mandi. Entah apa yang mereka lakukan. Hanya terdengar desahan dan lenguhan.

“Lihat itu, Lemari Tua, telepon seluler si pria dimatikan, pasti takut istrinya menghubungi”

“Ah! Sok tahu kau, Cermin Antik, mungkin saja dia menghindari panggilan kantornya”, si Lemari Tua membela diri.

“Iya! Lihat itu! Jari manis mereka melingkar cincin yang bermodel sama, aku yakin menang kali ini. Pasti keluar di dalam”, si Meja Jati ikutan berdebat.

“Ya kita lihat saja, siapa yang tertawa terakhir!”, aku mulai kesal.

Perdebatan yang terjadi antara aku, Cermin Antik, Meja Jati, dan Lemari Tua ketika sepasang lawan jenis memindahkan adegan mereka ke atas Ranjang Lapuk. Lenguhan dan desahan bertambah kencang. Televisi dihidupkan dengan suara kencang agar menetralisir dan meredam.

“Aku tetap yakin pasti di luar!”

“Ya ya ya, terserah kamu, Cermin Antik! Aku yakin menang dan menonton televisi seminggu penuh” Meja Jati mulai sesumbar.

Sepasang lawan jenis itu terus saja mencumbu, mencium, dan melakukan apa saja agar menyenangkan dirinya dan pasangannya. Dan aku pun mulai khawatir ketika adegan demi adegan yang berlangsung tidak sesuai dengan prediksiku.

“Lihat saja, Cermin Tua! Si pria tak memakai pengaman, pasti itu adalah istrinya. Mereka hanya mencari sensasi dengan bercinta di tempat ini setelah jam makan siang”

“Aahh! Istri pria itu harusnya berumur tigapuluh limaan, bukan duapuluhan seperti dia”

“Ya bisa saja kan? Lagipula dari penampilannya, dia orang berduit yang bisa main tunjuk perempuan agar mau dinikahi”

“Simpan saja argumentasimu! Aku tak butuh!”, aku semakin gusar. Semua prediksiku mulai mentah.

Setelah tigapuluh menit mereka bergumul, akhirnya mereka mulai memasuki tahap ending. Aku tak berani melihat ketika gerakan si pria mulai pelan. Aku memalingkan muka.

“Hey, kamu tidak mau lihat kekalahanmu?”

“Ya ya ya. Aku sudah rela menonton sinetron raampunjabi yang klise itu seminggu penuh”

“Hahahahahaha!”, Meja Jati dan Lemari Tua tertawa terbahak – bahak.

Baru pertama kali aku kalah. Aku sebagai yang paling tua di sini, sudah hapal dengan berbagai macam jenis pasangan semacam ini. Sudah ratusan kali aku taruhan dan baru kali ini aku terancam menonton sinetron.

“Ahhh di dalam. Kau menang, Cermin Tua!”

“Loh katanya di dalam, kenapa aku yang menang?”

“Lihat baik – baik Pak Tua!”

Aku memicingkan mata. Memfokuskan penglihatan. Terlihat si perempuan sedang mengelap mulutnya dari lelehan cairan.

*tribute to djenar maesa ayu

[kereta api bima – jakarta. 5 dan 6 februari 2010. fikri]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar