Kamis, 11 Februari 2010

Saya muak. Saya jengah. Saya muak dan jengah.

Saya muak. Saya jengah. Saya muak dan jengah terhadap perkembangan industri musik indonesia yang kemelayu – melayuan. Bukan berarti saya benci melayu, tapi musik tidak harus mendayu – dayu bukan? Lihat saja band – band idola abg masa kini. Sepertinya mereka lebih sibuk memperhatikan dandanan rambut daripada musikalitas.

Dengan lirik yang mengobral kata cinta, pujaan hati, dan kata – kata semacam itulah. Bukannya saya juga benci lagu cinta, tetapi tidak harus berserakan seperti itu kan? Sepertinya band yang albumnya termasuk album indonesia terbaik tahun 2008, Efek Rumah Kaca, menyadari hal itu, mereka lalu membuat lagu yang menurut saya monumental, Cinta Melulu. Simak saja lirik lagu yang bertenaga ini:

Nada – nada yang minor/ lagu perselingkuhan/ atas nama pasar semuanya begitu klise

Elegi patah hati/ ode pengusir rindu/ atas nama pasar semuanya begitu banal

Kali pertama saya mendengar, seperti “Wow! Apa ini?” sensasi yang orgasmik. Saya berteriak kencang “Hah! Sejak kapan minor, klise, elegi, ode, dan banal jadi lirik?”. Efek Rumah Kaca membuat bahasa indonesia terdengar sangat keren dengan lirik yang ditulisnya. Benar – benar waktu yang tepat. Waktu yang sangat tepat untuk menyadarkan pelaku industri musik untuk setidaknya sedikit berubah.

Atau seperti The Upstairs yang memiliki vokalis eksentrik dan antik. Subjektif, Jimmy merupakan salah satu penyair terbaik Indonesia saat ini. Lagu cintanya diungkapkan dengan berbeda. Mari disimak:

berbaju hitam ketat merekat/ celana blue jeans ku pun bertambah sesak
senyum mengembang lutut bergetaran/ semaput pegangan dan nyaris pingsan

sempat terfikir membawanya pulang/ sempat terfikir membawanya pulang.

The Upstairs – modern bob.

Dari liriknya jelas sekali tentang lagu cinta. Tentang seorang pria mempunyai ketertarikan dengan lawan jenis. Betul bukan? Tak selalu harus “kaulah pujaan hatiku selamanya cinta ini tak akan berakhir walau dunia berakhir” atau “bintang pun tertunduk malu atas kecantikanmu” hahaha. Saya sebenarnya malas menulis bagian itu.

Mungkin lagu lain dari Efek Rumah Kaca bisa jadi referensi untuk lagu cinta, ketika galau berkepanjangan. Haha. Semoga lirik ini membuat Anda merasa bahasa Indonesia itu kerennya melebihi bahasa apapun. Apalagi bahasa cinta. Haha.

Kita berdua hanya berpegangan tangan/ Tak perlu berpelukan
Kita berdua hanya saling bercerita/ Tak perlu memuji

Efek Rumah Kaca – jatuh cinta itu biasa saja.

Mungkin hal itu juga yang menyebabkan beberapa grup musik memilih negara lain untuk berkarya. Ketika Agnes Monica sibuk dengan rencana go international-nya, The S.I.G.I.T. sudah menjajal Australia dan Amerika, White Shoes and The Couples Company sudah memiliki label yang sama dengan band indie Amerika, The Cardigans, Goodnight Electric sudah mengelektronikkan Jerman, Gugun and BluesBug malah tidak terkenal di negerinya sendiri sama seperti Balawan, dan masih banyak contoh lainnya. Negara lain malah lebih mengapresiasi dibanding negaranya sendiri, wajar mereka berpindah lokasi pentas.

Dan itulah yang menyebabkan saya lebih memilih mengklik dua kali aplikasi winamp daripada menyetel televisi. Dan sekali lagi, saya percaya kalimat yang dilontarkan Efek Rumah Kaca, “pasar bisa diatur”.

Efek mendengarkan efek rumah kaca terlalu lama dan doktrinasi industri.

[jakarta. 11 februari 2010. 04:45 PM. fikri]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar